Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) berharap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat beberapa perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini sedang dibahas, salah satunya soal kewenangan DKPP.
Komisioner KPU Sigit Pamungkas mengatakan, setidaknya ada tiga poin krusial yang dianggap penting untuk diubah. Satu hal di antaranya adalah menyangkut kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
KPU mengharapkan UU Pemilu baru memberi wewenang bagi penyelenggara di daerah untuk mengusut pelanggaran badan
ad hoc, macam panitia pemungutan suara (PPS) atau kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Sigit bercerita, selama ini pengusutan dugaan pelanggaran badan
ad hoc harus selalu diserahkan ke DKPP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, penyelesaian dugaan pelanggaran badan
ad hoc di DKPP membutuhkan proses yang lama. Selain itu, kredibilitas penyelenggara pemilu juga terganggu karena proses penanganan kasus membutuhkan waktu panjang.
"Jadi cukup langsung ditangani KPU di daerah. Selama ini untuk memberhentikan KPPS, PPS, PPK, itu harus ke DKPP. Itu kan membutuhkan proses yang lama dan menjadikan kredibilitas penyelenggaraan terganggu karena pendisplinan organisasi terlalu rumit," kata Sigit di Jakarta, Jumat (20/1).
Masalah lain, kata Sigit, KPU ingin UU Pemilu baru tak mengatur spesifik ihwal waktu tahapan penyelenggaraan pesta demokrasi. Menurutnya, penetapan waktu pelaksanaan tahap pemilu harus diserahkan sepenuhnya pada KPU.
"Serahkan saja kepada penyelenggara pemilu supaya bisa lebih mengukur suatu tahapan lebih tepat untuk berapa lama. Selama ini kan diatur sangat rigid sehingga peraturan tersebut tidak memadai untuk menghasilkan tahapan yang baik," ujarnya.
Penggunaan Teknolog InformasiSorotan lainnya diberikan KPU adalah terhadap penggunaan teknologi informasi (TI) dalam pemilu. Menurut Sigit, penggunaan TI harus dibuka kesempatannya dalam UU Pemilu baru.
Namun, jangan sampai ada batasan terkait waktu dan jenis teknologi yang harus digunakan.
Sigit mengungkap, penggunaan TI dalam pemilu membutuhkan waktu persiapan yang panjang. Oleh karena itu, menurutnya DPR tak perlu mengatur spesifik waktu penggunaan TI dalam pemilu.
"Jangan dipaksakan harus dipakai tahun sekian. Biarkan dia berproses karena untuk memakai TI itu tidak bisa serta-merta dipakai. Biarkan pilihan-pilihan teknologi itu diserahkan kepada KPU untuk memilih kapan tepatnya serta untuk keperluan apa teknologi itu dipakai," ujarnya.