Hampir 3 Ribu Perusahaan Tak Bayar Pajak Air Tanah

Aulia Bintang Pratama | CNN Indonesia
Selasa, 24 Jan 2017 16:32 WIB
Berdasar kajian LIPI, KPK mendapati bahwa alokasi pajak yang diterima dari sektor air bawah tanah baru menyentuh 1 per 10 dari yang seharusnya didapat.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) atau Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta mengungkapkan, hampir 3 ribu pihak tidak membayar pajak air tanah. Kepala BPRD Edy Sumantri mengatakan, angka itu sama dengan 70 persen dari total 4.265 perusahaan pemegang izin penggunaan air bawah tanah.

"Kurang lebih ada 1.300-an yang membayar pajak, hanya 30 persen saja," kata Edy saat ditemui di gedung Dinas Pelayanan Pajak, Selasa (24/1).

Menurut Edy, sebanyak 70 persen pihak yang terindikasi itu memiliki status-status beragam, mulai dari meteran air tak menyala sehingga menyulitkan perhitungan pajak, hingga kemungkinan pemegang izin penggunaan air bawah tanah itu sama sekali tidak menggunakan air tanah yang disediakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemungkinan lain, lanjut Edy, sejumlah para pemegang izin tak sadar bahwa ada meteran air yang rusak sehingga penggunaan air tanah tak tercatat dan berimbas pada kesulitan menentukan pajak yang harus ditandatangani.

“Atau memang mereka mengetahui meteran rusak tapi tak meminta pengganti untuk menghindari pembayaran pajak,” ujar Edy.

Angka-angka tersebut sebenarnya masih bisa bertambah besar karena ada pihak yang tak memiliki izin tapi tetap menyerap air dari bawah tanah.

Edy menjelaskan, di DKI ada sekitar 5.500-an pihak yang sedianya menyerap air tanah sebagai cadangan air tapi tak memiliki izin, sebagian besar dari mereka berupa pemilik gedung-gedung bertingkat.


Gedung bertingkat lebih dari empat lantai, tutur Edy, sudah selayaknya memiliki cadangan dari air bawah tanah dan mengurus perizinan penggunaan air tanah. Untuk memperjelas status pihak-pihak tersebut, dia meminta SKPD lain menyatukan data dan melakukan pengecekan langsung ke lapangan.

Jika dikalkulasikan, jumlah pemilik gedung yang seharusnya memiliki izin menggunakan air tanah bisa menyentuh angka 10 ribu orang. Angka itu berasal dari jumlah yang tak memiliki izin ditambah pemilik izin.

"Bisa saja memang yang tak memiliki izin 100 persen menggunakan air PAM, begitu juga yang sisa 70 persen. Pengecekan itu penting," kata dia.

Potensi Kerugian

Ketua Tim Optimalisasi Penerimaan Daerah KPK Dian Patria menjelaskan, salah satu hal yang perlu dicermati dari fenomena pembayaran pajak air tanah adalah potensi kerugian bagi Pemerintah Provinsi DKI. Dengan angka pembayar pajak yang hanya 1.300-an, dan 5.500-an tak memiliki izin, potensi kerugian bisa sangat besar.

Berdasarkan kajian yang dilakukan LIPI, kata Dian, KPK mendapati bahwa alokasi pajak yang diterima dari sektor air bawah tanah baru menyentuh 1 per 10 dari yang seharusnya didapat.

“Misal Rp100 miliar, itu baru sepersepuluhnya, berarti potensi bisa sampai Rp1 triliun, at least," kata Dian.

Menilik jumlah pihak yang kemungkinan tidak membayar pajak, baik karena tak memiliki izin atau sistem penghitungan penggunaan air tak berjalan, Dian khawatir potensi kerugian yang diderita Pemprov DKI bisa jauh lebih besar dari itu.

Untuk itu, Dian meminta pendataan dan rincian penggunaan air tanah di DKI harus dibenahi agar penghitungan kerugian bisa lebih mudah. Pendataan juga memudahkan Pemprov untuk menindak mereka yang melakukan pelanggaran dengan tak membayar pajak.

Tak sependapat dengan Dian, Edy mengatakan potensi kerugian dari pembayaran pajak air tanah tak bisa dihitung secara matematis karena sangat tergantung pada volume air yang diserap.

Bisa saja, kata dia, ada pihak yang hanya menggunakan 50 persen jatah air tanah tapi di sisi lain ada yang menggunakan 100 persen jatah tapi tak membayar pajak.

"Jadi tak bisa dikira-kira karena semua tergantung volume yang digunakan," ujar Edy.

Untuk itu, Edy senada dengan Dian yang menginginkan pendataan wajib pajak air tanah ditata lebih baik. Dia meminta SKPD terkait, di antaranya Dinas Energi dan Industri, Dinas Sumber Daya Air, dan Dinas Lingkungan Hidup untuk melakukan sinkronisasi data agar tak ada kesalahan saat melakukan penindakan. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER