Ilustrasi. Mahkamah Konstitusi tolak uji materi terkait perselisihan internal parpol. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi pasal 23 ayat (2) dan (3) serta 33 Undang-undang Partai Politik tentang proses penyelesaian perselisihan internal parpol.
Pemohon yang merupakan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yakni Ibnu Utomo, Yuli Zulkarnain, dan R Hoesnan dianggap tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
"Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (25/1).
Mahkamah menilai, pemohon sebagai perseorangan tidak memiliki kepentingan hukum mengajukan permohonan. Ketentuan dalam pasal 32 dan 33 UU Parpol mengatur secara spesifik tentang parpol dan bukan hak perseorangan.
Pemohon mestinya membuktikan terlebih dulu hak dan kewenangan pemohon dalam mewakili parpol. Sekali pun pemohon merupakan pengurus parpol, kata Arief, wakil partai di DPR telah ikut merancang, membahas, atau mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) menjadi UU.
"Sehingga parpol tersebut tidak lagi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan ke MK," kata Arief.
Kuasa hukum pemohon, Humphrey Djemat, menilai ada keanehan dalam putusan MK tersebut. Humphrey mengatakan, kedudukan hukum para pemohon sebelumnya tak pernah dipermasalahkan oleh majelis hakim konstitusi. Ia mengaku heran lantaran kedudukan hukum para pemohon akhirnya justru menjadi pertimbangan keputusan hakim.
"Soal legal standing ini tidak pernah jadi masalah. Bahkan dulu ada hakim yang menyatakan bahwa permohonan ini sudah baik tinggal disempurnakan saja, jadi harusnya permasalahan legal standing ini tidak ada," ucap Humphrey ditemui usai persidangan.
Humphrey juga menilai ada kejanggalan dalam proses pemutusan perkara yang terlalu lama hingga memakan waktu hampir setahun. Padahal, menurutnya, perkara ini dapat diselesaikan dalam waktu empat bulan saja. Sementara pihaknya mesti menunggu hingga enam bulan sampai perkara itu diputuskan.
"Jadi lebih banyak menunggu daripada proses persidangannya. Ini agak aneh juga," tuturnya.
Humphrey juga menyinggung pertimbangan hakim yang menyatakan warga maupun kader parpol tak dapat mengajukan permohonan tersebut. Alasannya, wakil parpol turut terlibat dalam pembahasan UU di DPR. Adapun saksi dari DPR yang diajukan dalam persidangan, kata dia, telah menegaskan bahwa pemerintah tak berhak lagi mencampuri konflik internal partai.
Ia mengaku akan mempelajari terlebih dulu putusan MK sebelum kembali mengajukan permohonan baru. Jika permasalahan itu adalah soal legal standing pemohon, mestinya hal itu diungkapkan sejak awal persidangan.
"Jadi kalau warga negara enggak bisa, parpol enggak bisa, siapa dong yang bisa mengajukan kalau begini. Harus jelas, coba tanya ke MK kok bisa buat putusan banci seperti ini," ucapnya.
Pasal Pemilihan Kepala Daerah Selain permohonan tersebut, MK juga menyatakan tidak menerima dua uji materi serupa yang diajukan kader PPP lainnya. Termasuk permohonan yang diajukan Ketua Umum PPP hasil muktamar Jakarta Djan Faridz. Dalam putusannya, MK berpendapat para pemohon tak memiliki legal standing. Permohonan Djan terkait uji materi pasal 40 ayat 3 UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota.
Pasal tersebut menyatakan, kepengurusan partai politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah mereka yang sudah memperoleh putusan pengadilan serta ditetapkan dengan keputusan menteri di bidang hukum dan hak asasi manusia. Ketentuan ini berlaku jika terjadi perselisihan atas putusan mahkamah partai.
Ketentuan dalam pasal tersebut dinilai membuka celah bagi pihak eksekutif untuk mengintervensi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebab Menteri Hukum dan HAM mestinya tak berwenang mencampuri perselisihan internal partai politik.
Sebelumnya, para pemohon menilai ketentuan dalam UU Parpol tak mengatur secara jelas penyelesaian perselisihan internal parpol. Pasal 23 menjelaskan bahwa pendaftaran susunan kepengurusan parpol ke kementerian paling lama 30 hari sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.
Sementara dalam pasal 33 menyatakan, apabila terjadi perselisihan internal parpol maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui pengadilan negeri dan hanya dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ini wajib dilaksanakan oleh menteri dan susunan pengurus yang sesuai putusan pengadilan.
Pengajuan permohonan ini berawal dari konflik internal kepengurusan PPP yang terbagi menjadi dua kubu. Pada April 2016, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang mengesahkan Romahurmuziy sebagai Ketua Umum PPP dari hasil muktamar Pondok Gede. Sementara sesuai putusan Mahkamah Agung, hasil muktamar Jakarta dengan Ketua Umum Djan Faridz dinyatakan sah dan telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga SK yang dikeluarkan Menteri Yasonna dinilai bertentangan dengan putusan MA.