Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Yudisial menyoroti persoalan integritas dan kewibawaan lembaga peradilan di Indonesia yang belakangan ini dinilai semakin merosot.
Keprihatinan disampaikan oleh lembaga pengawas peradilan itu menanggapi penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Peristiwa tersebut dianggap perlu dijadikan sebagai pelajaran dan masukan evaluasi bagi semua pihak, terutama lembaga peradilan, mengingat kejadian atau kasus yang menimpa lembaga peradilan itu bukan kali pertama terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Reformasi (lembaga peradilan) yang sebenarnya adalah perbaikan yang menyentuh masalah dasar, yaitu integritas," ujar Juru Bicara KY Farid Wajdi saat dikonfirmasi, Kamis (26/1).
Farid mewakili KY menyayangkan integritas hakim kembali tercoreng akibat perbuatan tidak patut yang dilakukan segelintir oknum ketika banyak pihak berusaha membenahi dunia peradilan.
"Terdapat hal mendasar yang harus diperbaiki dalam praktik penyelenggaraan peradilan, bahwa kekuasaan yang tanpa kontrol berpotensi diselewengkan, tak terkecuali di ranah yudikatif," kata Farid.
KY selaku lembaga pengawas peradilan punya wewenang menetapkan kode etik dan pedoman perilaku hakim bersama dengan Mahkamah Agung. KY selain itu juga punya tugas memantau dan mengawasi perilaku hakim.
Namun hakim MK menjadi pengecualian bagi KY. Dalam Putusan MK 005/2006 dinyatakan bahwa hakim konstitusi bukan objek pengawasan KY dengan alasan hakim konstitusi bukanlah hakim profesi seperti hakim biasa.
Selain itu, dengan menjadikan perilaku hakim konstitusi sebagai objek pengawasan KY, maka kewenangan MK sebagai pemutus sengketa kewenangan lembaga negara dianggap bakal terganggu dan tidak dapat bersikap imparsial, khususnya jika ada sengketa kewenangan antara KY dengan lembaga lain.
"MK punya dewan etik konstitusi," kata Farid. Kalaupun ada wacana KY perlu mengawasi hakim MK, kata dia, hal itu perlu didiskusikan kembali di ruang publik.
Lembaga peradilan di Indonesia bagaimanapun tak bisa dibilang sepenuhnya bersih dari belitan kasus. KPK sepanjang perjalanannya mencatat telah menangani 43 orang dari lingkup lembaga peradilan yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Sebagian di antaranya berprofesi sebagai hakim.
Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah mengungkapkan, dari 43 orang yang telah berhasil ditangani kasusnya, 15 orang di antaranya adalah hakim, 11 orang advokat, tujuh orang panitera, tujuh jaksa, dan tiga orang lainnya berlatar belakang polisi.
"Dari polisi tiga ini sebenernya salah satu adalah mantan penyidik KPK juga, Suparman, jadi kami sendiri yang menangani saat itu dari temuan di pengawasan internal," ujar Febri.
(gil)