Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Rabu (25/1), sekitar pukul 21.30 sampai 22.00 WIB. Patrialis ditangkap bersama 10 orang lain yang diduga terlibat tindak pidana korupsi.
Komisioner KPK Basaria Panjaitan menceritakan kronologi penangkapan bekas politisi Partai Amanat Nasional.
Basaria mengatakan, penangkapan Patrialis dilakukan setelah KPK menerima laporan akan terjadi suatu tindak pidana korupsi oleh penyelenggara negara. Namun ia enggan mengungkapkan sosok pelapor tersebut.
Dari laporan itu, KPK menindaklanjuti dengan membentuk tim yang bertugas melakukan penangkapan di tiga lokasi berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim bergerak pada hari Rabu, dimulai dengan melakukan penangkapan di sebuah lapangan golf di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Di sana, tim menangkap KM.
Mereka lalu bergerak ke kantor BHR di daerah Sunter dan berhasil mengamankan BHR beserta sekretarisnya dan enam karyawan lainnya.
"Kami infokan juga bahwa BHR ini memiliki 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging, tapi kita tak sebutkan satu per satu," kata Basaria kepada wartawan di Gedung KPK, Kamis (26/1).
Dari Sunter tim KPK bergerak ke pusat perbelanjaan Grand Indonesia sekitar pukul 21.30 WIB. Di sana tim KPK berhasil menangkap Patrialis (PAK) bersama seorang wanita.
Penangkapan PAK terkait dengan dugaan suap
judicial review UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
"BHR diduga memberi hadiah atau janji terkait permohonan uji materi UU 41/2014. Dalam rangka pengurusan perkara dimaksud, BHR dan NGF melakukan pendekatan kepada PAK melalui KN," kata Basaria.
Basaria melanjutkan, dugaan penyuapan dilakukan oleh BHR dan NGF agar bisnis impor daging mereka dapat lebih lancar. "Setelah pembicaraan, PAK menyanggupi untuk membantu agar uji materi tersebut dikabulkan."
PAK diduga menerima hadiah US$20 ribu dan Sin$200 ribu. Dalam operasi penangkapan itu tim KPK juga telah mengamankan dokumen pembukuan perusahaan dan voucher pembelian mata uang asing dan draf perkara 129.
(wis/rdk)