Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo menyatakan prihatin atas terjeratnya Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar dalam perkara dugaan suap. Juru Bicara Presiden Johan Budi mengatakan, keprihatinan itu diungkapkan lantaran Jokowi menganggap MK merupakan benteng terakhir konstitusi bangsa.
"Di tengah-tengah upaya semua pihak memberantas korupsi, ternyata masih ada hakim yang tertangkap KPK. Presiden prihatin, sangat prihatin," kata Johan di Kantor Presiden, Jumat (27/1).
Patrialis ditangkap KPK Rabu malam (25/1) sekitar pukul 21.30 di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Ia diduga menerima suap untuk mempengaruhi hasil uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Mantan Menteri Hukum dan HAM itu diduga menerima hadiah US$20 ribu dan Sin$200 ribu. Dalam operasi penangkapan, KPK juga mengamankan dokumen pembukuan perusahaan dan
voucher pembelian mata uang asing dan draf perkara uji materi nomor 129/puu/XII/2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemarin, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan jabatan hakim MK harus segera diisi jika Patrialis resmi diberhentikan. Pengisian jabatan hakim konstitusi sepenuhnya menjadi kewenangan Jokowi selaku presiden.
Jokowi punya kuasa mencari pengganti hakim MK lantaran Patrialis merupakan satu dari tiga hakim yang sebelumnya menjadi perwakilan pemerintah. Johan mengatakan, Jokowi pasti akan melakukan proses pergantian jika sudah menerima surat MK.
"Tentu harus ada penunjukan pengganti ya melalui mekanisme yang ada. Sampai hari ini belum ada surat pemberhentian sementara," ucap Johan.
Perbaikan SistemJohan Budi mengatakan, keprihatinan Jokowi dalam kasus ini karena perkara yang menjerat hakim tak hanya terjadi sekali. Sebelum Patrialis, lembaga antirasuah juga pernah menangkap tangan mantan Ketua MK Akil Mochtar.
Menanggapi itu, mantan Juru Bicara KPK ini mengatakan perbaikan sistem peradilan, termasuk menyangkut kinerja hakim, tak menutup kemungkinan bisa menjadi kajian yang diprioritaskan oleh pemerintah.
"Menurut saya bisa tapi apakah itu akan dilakukan ya detailnya mungkin tanya ke Menko Polhukam," ujarnya.
Diketahui, saat ini Menko Polhukam Wiranto bersama aparat penegak hukum sedang merumuskan paket kebijakan reformasi hukum kedua. Paket ini nantinya mengatur penataan regulasi, perluasan jangkauan hukum, dan membangun rasa aman masyarakat.
Kendati demikian, Johan juga mengaku belum menerima informasi rencana revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
"Mungkin bisa saja kalau ada banyak komponen masyarakat yang meminta revisi UU MK. Itu domain DPR dan pemerintah," kata dia.
(gil)