Jakarta, CNN Indonesia -- Senin pekan lalu (6/2), Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo secara blak-blakan mengungkapkan persoalan di balik pengadaan helikopter AgustaWestland-101 usai rapat kerja dengan Komisi I DPR RI.
Sebagai Panglima TNI, Gatot menyebut dirinya tak tahu menahu soal pengadaan heli yang saat ini sudah berada di Lanud Halim Perdanakusuma.
Bahkan Gatot sempat menyebut adanya Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 28 Tahun 2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara, justu membatasi kewenangannya sebagai panglima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Gatot, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga tak tahu soal pengadaan heli tersebut. Menurutnya, pihak Kementerian Pertahanan sejak awal sudah tidak sepakat soal pengadaan heli AW-101 itu.
Kepala Staf TNI Angkata Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa pihak TNI AU hanya membeli satu buah heli AW-101. Selain itu, menurutnya pengadaan heli tersebut sudah sesuai dengan pemesanan TNI AU dan sudah diketahui oleh Kementerian Pertahanan.
Heli AW-101 yang saat ini sudah berada di Lanud Halim Perdanakusuma itu dibeli dengan menggunakan anggaran TNI AU, bukan menggunakan anggaran Kementerian Sekretariat Negara.
Meski begitu, kata Hadi, pihak Kementerian Pertahanan hanya mengetahui pengadaan heli AW-101 yang akan digunakan sebagai pesawat angkut VVIP presiden. Dan tidak mengetahui bahwa Presiden Joko Widodo telah menolak pengadaan heli tersebut, sehingga dialih fungsikan menjadi pesawat angkut militer bagi TNI AU.
Menurut Hadi, salah satu alasan pembatalan pengadaan heli AW-101 untuk VVIP presiden dipengaruhi oleh situasi yang terjadi di India.
 Helikopter AW-101 yang jadi perdebatan (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/POOL) |
"Saat itu memang ada permasalahan tentang kasus heli VIP yang digunakan oleh airforce India," ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya saat dihubungi oleh
CNNIndonesia.com, Jumat (10/2).
Jemi mengatakan pengadaan heli AW-101 sudah tertuang dalam rencana strategis (renstra) TNI AU tahap II tahun 2015-2019. Saat itu, kata Jemi, sesuai dengan renstra II tersebut TNI AU mengajukan kebutuhan delapan heli, dua untuk VVIP Presiden dan enam untuk heli angkut berat TNI AU.
Di sisi lain, Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) juga mengaku tidak pernah menerima usulan terkait pengadaan heli AW-101 tersebut. Padahal seharusnya pengadaan produk dari luar negeri itu harus lewat usulan kepada KKIP, bisa melalui proses langsung antar pemerintah ataupun kepada pabirkan. Hal itu sesuai dengan pasal 43 dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Untuk itu, Hadi membentuk tim investigasi yang nantinya akan melakukan pengecekan terhadap proses pengadaan heli AW-101 yang saat ini menjadi kontroversi.
”Nah, akhirnya ini menjadi pesawat angkut pasukan. Oleh sebab itu, saya membentuk tim investigasi ke dalam, internal Angkatan Udara untuk melihat proses perencanaan sampai dengan pengadaan bagaimana," kata Hadi, Selasa (7/2).
Saat ini, satu buah heli AW101 sudah terparkir di Lanud Halim Perdanakusuma. Tim investigasi TNI AU pun sudah mulai bekerja untuk menguak persoalan di balik pengadaan heli tersebut tanpa batas waktu yang ditentukan.
Menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, kalaupun Permenhan itu membatasi kewenangan Gatot sebagai panglima, tetapi harusnya semangat yang ditunjukkan oleh Gatot tetap sama.
Hal ini karena Indonesia merupakan negara dengan pemerintahan sipil. Sehingga menurutnya, masuk akal jika menteri pertahanan menjadi leading sector untuk segala sesuatu yang terkait dengan kebijakan strategis di bidang pertahanan.
Khairul juga mengatakan bahwa persoalan terkait alat sistem utama persenjataan (alutsista) sebenarnya tidak hanya soal kerumitan, biaya tinggi, harus beli produk dalam negeri atau luar negeri, tetapi lebih dari itu. Misalnya apakah perencanaan kebutuhan pertahanan tersebut sudah sesuai dengan persepsi ancaman, hambatan, tantangan, dan gangguan terhadap sistem pertahanan Indoensia.
 Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/POOL |
“Saya kok melihat sebenarnya ini
real ga sih kebutuhan-kebutuhan itu, sehingga oke
lah heli yang kami inginkan spesifikasinya belum bisa dibuat di dalam negeri. Tapi dengan perencanaan strategis yang jelas itu kemudian kami bisa membuat rencana terhadap kebutuhan-kebutuhan itu, oh berarti kami perlu meningkatkan kemampuan di bidang produksi ini produksi itu,” jelas Khairul saat dihubungi oleh
CNNIndonesia.com, Sabtu (11/2).
Khairul menyebut persoalan ini tidak perlu terjadi jika KKIP dan Kementerian Pertahanan sejak awal mengambil alih isu ini. Hal ini karena sejak awal yang menjadi ‘juru bicara’ dari pengadaan heli AW-101 adalah KSAU sebelumnya, yaitu Agus Supriatna.
“Agus Supriatna itu terlalu dominan dalam penyampaian, pada waktu itupun saya juga sudah memberi pendapat bahwa harusnya KKIP ini yang bersuara bukan KSAU lagi,” ujarnya.
Jika memang pengadaan alutsista belum mampu dilakukan oleh produsen dalam negeri, kata Khairul, hal penting yang bisa dinegosiasikan adalah sola skema offset pertahanan. Misalnya transfer teknologi, produksi bersama, hingga produksi lisensi termasuk untuk komponen dan suku cadang.
Terkait tim investigasi yang dibentuk oleh KSAU, Khairul berpendapat jika memang ingin betul-betul mengungkap soal pengadaan heli AW-101 tidak akan mungkin jika hanya dilakukan investigasi secara internal di pihak TNI AU.
Menurutnya, persoalan pengadaan heli AW-101 bukan hanya proses pengadaannya yang kacau. Tetapi juga ada potensi pembangkangan terhadap perintah presiden yang sudah membuat keputusan untuk menolak pengadaan heli tersebut.
Selain itu, kata Khairul, proses investigasi eksternal juga diperlukan untuk bisa mengungkap persoalaan di balik pengadaan heli tersebut.
“Minimal setidaknya dari Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, TNI AU, Kementeria Keuangan, dan unsur-unsur yang disebut namanya dalam persoalan ini harus terjun bersama-sama,” tuturnya.
Khairul juga berpendapat presiden dan pemerintahnya perlu memperkuat komitmen kemandirian alutsista. Mulai dari penyiapan kebijakan pengembangan kemampuan industri pertahanan yang selaras dengan kebijakan pengembangan kekuatan ddan kemampuan pertahanan nasional.
Selain itu, lanjut Khairul, juga harus mencegah potensi kerugian negara dengan cara pengawasan yang baik dan penegakkan hukum dalam proses pengadaannya.