Merunut Persoalan Pengadaan Helikopter AW-101

CNN Indonesia
Minggu, 12 Feb 2017 09:58 WIB
Helikopter AW-101 mendadak menjadi perbincangan lantaran tak ada yang tahu soal pengadaannya. Bagaimana sebetulnya masalah yang terjadi?
Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/POOL
Menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, kalaupun Permenhan itu membatasi kewenangan Gatot sebagai panglima, tetapi harusnya semangat yang ditunjukkan oleh Gatot tetap sama.

Hal ini karena Indonesia merupakan negara dengan pemerintahan sipil. Sehingga menurutnya, masuk akal jika menteri pertahanan menjadi leading sector untuk segala sesuatu yang terkait dengan kebijakan strategis di bidang pertahanan.

Khairul juga mengatakan bahwa persoalan terkait alat sistem utama persenjataan (alutsista) sebenarnya tidak hanya soal kerumitan, biaya tinggi, harus beli produk dalam negeri atau luar negeri, tetapi lebih dari itu. Misalnya apakah perencanaan kebutuhan pertahanan tersebut sudah sesuai dengan persepsi ancaman, hambatan, tantangan, dan gangguan terhadap sistem pertahanan Indoensia.
Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/POOL

“Saya kok melihat sebenarnya ini real ga sih kebutuhan-kebutuhan itu, sehingga oke lah heli yang kami inginkan spesifikasinya belum bisa dibuat di dalam negeri. Tapi dengan perencanaan strategis yang jelas itu kemudian kami bisa membuat rencana terhadap kebutuhan-kebutuhan itu, oh berarti kami perlu meningkatkan kemampuan di bidang produksi ini produksi itu,” jelas Khairul saat dihubungi oleh CNNIndonesia.com, Sabtu (11/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Khairul menyebut persoalan ini tidak perlu terjadi jika KKIP dan Kementerian Pertahanan sejak awal mengambil alih isu ini. Hal ini karena sejak awal yang menjadi ‘juru bicara’ dari pengadaan heli AW-101 adalah KSAU sebelumnya, yaitu Agus Supriatna.

“Agus Supriatna itu terlalu dominan dalam penyampaian, pada waktu itupun saya juga sudah memberi pendapat bahwa harusnya KKIP ini yang bersuara bukan KSAU lagi,” ujarnya.

Jika memang pengadaan alutsista belum mampu dilakukan oleh produsen dalam negeri, kata Khairul, hal penting yang bisa dinegosiasikan adalah sola skema offset pertahanan. Misalnya transfer teknologi, produksi bersama, hingga produksi lisensi termasuk untuk komponen dan suku cadang.

Terkait tim investigasi yang dibentuk oleh KSAU, Khairul berpendapat jika memang ingin betul-betul mengungkap soal pengadaan heli AW-101 tidak akan mungkin jika hanya dilakukan investigasi secara internal di pihak TNI AU.

Menurutnya, persoalan pengadaan heli AW-101 bukan hanya proses pengadaannya yang kacau. Tetapi juga ada potensi pembangkangan terhadap perintah presiden yang sudah membuat keputusan untuk menolak pengadaan heli tersebut.

Selain itu, kata Khairul, proses investigasi eksternal juga diperlukan untuk bisa mengungkap persoalaan di balik pengadaan heli tersebut.

“Minimal setidaknya dari Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, TNI AU, Kementeria Keuangan, dan unsur-unsur yang disebut namanya dalam persoalan ini harus terjun bersama-sama,” tuturnya.

Khairul juga berpendapat presiden dan pemerintahnya perlu memperkuat komitmen kemandirian alutsista. Mulai dari penyiapan kebijakan pengembangan kemampuan industri pertahanan yang selaras dengan kebijakan pengembangan kekuatan ddan kemampuan pertahanan nasional.

Selain itu, lanjut Khairul, juga harus mencegah potensi kerugian negara dengan cara pengawasan yang baik dan penegakkan hukum dalam proses pengadaannya.

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER