Jakarta, CNN Indonesia -- Rohaniwan Franz Magnis Suseno menilai delik terkait penodaan agama merupakan hal yang sulit dimengerti. Karena itu, kata Magnis, banyak negara menghapus pasal yang menyangkut persoalan tersebut dari aturan hukum.
"Saya pribadi berpendapat seluruh paham penodaan agama itu susah dan banyak negara yang sudah menghapus itu karena susahnya," kata Magnis saat ditemui di Jakarta, Selasa (14/2).
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menyebut salah satu hal yang dianggap bermasalah dari pasal itu adalah unsur-unsur yang bisa dikategorikan sebagai penodaan agama.
Setidaknya, kata Magnis, ada dua unsur yang bisa dianggap sebagai tindakan penodaan agama. Pertama, ucapan seseorang yang dianggap menyerang agama lain. Magnis mengambil contoh kasus yang menjerat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pentolan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Keduanya diduga melakukan penodaan agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada orang yang dituduh menodai agama karena omongan atau perbuatannya," kata dia.
Unsur kedua, mengajarkan ajaran yang berbeda dengan ajaran agama yang lain. Dia menyebut contohnya, kasus Gafatar yang muncul awal 2016. Pimpinan Gafatar Ahmad Musadeq menjadi pesakitan karena dianggap menyebarkan ajaran sesat.
Magnis menjelaskan dua kasus tersebut berbeda padahal sama-sama dianggap menodai agama yang diakui di Indonesia. Namun Magnis menekankan, apakah tindakan Ahok, Rizieq, dan Mushaddeq betul-betul menodai agama.
Magnis pun menegaskan, perbedaan pandangan soal agama bukan berarti orang itu menghina. Itulah sebabnya dia menilai pasal penodaan agama sebagai aturan yang seharusnya sudah dihapus dari sistem hukum di Indonesia.
"Berbeda tak sama dengan menghina, saya menyerang pasal itu karena bagi saya itu salah dan memalukan. Sayang Mahkamah Konstitusi tak melihat itu," ujar pria kelahiran Polandia tersebut.