Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) menilai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terlalu fokus pada langkah konservasi perikanan sehingga berimbas pada kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Di antaranya, jumlah kapal yang terus mengalami penurunan hingga ribuan unit.
Sekretaris Jendral Astuin Hendra Sugandhi mengatakan, upaya pemerintah yang terlalu fokus pada pengendalian penangkapan ikan menurut dia terlalu berlebihan.
Diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dikenal dengan gebrakan pemberantasan pencurian ikan serta konservasi ekosistem laut, namun ternyata juga berpengaruh pada kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Astuin menyatakan salah satu contoh adalah pengendalian pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal yang pada praktiknya belum berjalan efektif. Justru, kata dia, pengendalian itu berdampak pada menurunnya nilai ekspor tuna di Indonesia.
"Tahun pertama okelah konservasi, penertiban
Illegal Unreported, Unregulated Fishing (IUUF), tapi kalau setiap tahun memberantas
illegal fishing terus malah berdampak pada jumlah kapal penangkap ikan yang menurun," kata Hendra.
Lebih lanjut, Hendra memaparkan terkait berkurangnya jumlah kapal di Indonesia akibat dari pemberantasan pencurian ikan, hanya dalam kurun waktu dua tahun saja kapal-kapal penangkap ikan sudah berkurang hingga mencapai angka ribuan.
"Ini terus bertambah, bahkan per tanggal 12 Februari saja total jumlah kapal yang 'hilang' sudah mencapai 1.782 kapal sejak tahun 2016, bagaimana nasib nelayan kalau kapal-kapal mereka didekontruksi," kata Hendra.
Hendra menyebut dalam kurun Desember 2016 hingga akhir Januari saja, Indonesia telah kehilangan 538 unit armada kapal penangkap ikan di wilayah konsesi organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO).
Berdasarkan data Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), jumlah kapal di Indonesia saat hanya mencapai 157 kapal dengan rata-rata 71,04 gross ton per kapal. Jika dibandingkan dengan negara lainnya, jumlah ini jauh berbeda. Jepang misalnya, mendominasi dengan 223 kapal penangkap ikan.
Kritik Program KonservasiSelain pemberantasan pencurian ikan, Hendra juga mempermasalahkan kebijakan yang diberlakukan untuk para nelayan. Misalnya, kebijakan konservasi di level nelayan yang dinilai belum terlalu efektif.
"Apanya yang konservasi nelayan, sepanjang tahun 2016 sampai 2017 ini saja alat tangkap jaring
purse sein (pukat cincin) masih mendominasi," kata Hendra di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (17/2).
Padahal,
purse seine atau pukat cincin merupakan salah satu alat tangkap yang dilarang karena hasil tangkapannya bukan hanya menangkap tuna dewasa tetapi juga bisa menangkap banyak bayi-bayi tuna berjenis
yellowfin ataupun tuna jenis
big eye. Menteri Susi Pudjiastuti dalam satu jumpa pers. Dia mendapatkan banyak kritik terkait dengan kebijakan anti pencurian ikan yang berimbas pada kesejahteraan nelayan. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Oleh karena itu, Hendra berharap pemerintah bisa memiliki kebijakan jangka panjang yang nantinya bisa menyeimbangkan antara aspek kesejahteraan dan aspek ekologis. Sehingga, konservasi perikanan dan kesejahteraan nelayan serta pelaku usaha bisa berjalan beriringan.
"Jadi bukan lagi hanya hak asasi ikan yang diperjuangkan, hak asasi manusianya juga bisa ikut terbela, tidak hanya urusi ikan jumlahnya meningkat sekian, tapi nelayannya megap-megap," kata Hendra.
Walaupun demikian, Menteri Susi justru mendapatkan penghargaan
Leaders for A Living Planet oleh WWF pada September 2016. Penghargaan itu diberikan kepada Susi di Washington DC, AS.
Susi menyatakan pengelolaan sumber daya perikanan merupakan keniscayaan yang harus dilakukan. “Setelah kami berdaulat penuh, maka Indonesia dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu melakukan pengelolaan sumber daya alam secara efisien, efektif dan lestari,” kata dia.