Gonjang-Ganjing Larangan Cantrang Menteri Susi

CNN Indonesia
Jumat, 17 Feb 2017 13:42 WIB
Alih-alih memberi solusi alat tangkap, KKP memberi peluang impor ikan untuk memenuhi bahan baku pabrik surimi yang terdampak larangan cantrang.
Nelayan merapikan alat tangkap cantrang khusus kepiting dan lobster ramah lingkungan di Pesisir Pantai Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Darwin Fatir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penerbitan larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) mendapat reaksi negatif dari publik. Kebijakan yang diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti itu diprotes keras nelayan pengguna cantrang.

Dalam Peraturan Menteri (Permen) yang mulai berlaku per Januari 2017, cantrang menjadi salah satu alat yang dilarang. Dampak larangan itu kini mulai merambah ke pengusaha pengolahan ikan.

Sejumlah pabrik olahan ikan juga menghadapi dampak Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Alat Penangkapan Ikan Jenis Pukat Hela dan Pukat di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI (WPPRI) tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejumlah pabrik ikan yang memproduksi pasta ikan atau surimi berhenti beroprasi lantaran bahan baku berupa ikan-ikan kecil yang biasa mereka dapatkan dari para nelayan cantrang berkurang.

"Yang saya tahu, ada 15 pabrik berhenti beroperasi. Pabrik surimi yang ada di wilayah Pantura. Bukan hanya pemilik pabrik rugi, tapi para pekerja, berimbas pada keluarganya," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP51) Budhi Wibowo kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/2).
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Indonesia ada 16 pabrik surimi.

Pabrik surimi, menurut Budhi, telah memberikan devisa cukup besar bagi negara. Pembangunan pabrik-pabrik surimi telah menelan investasi sekitar US$115 juta dengan penjualan hasil olahan pabrik US$ 200 juta per tahun.

"Operasi berhenti, potensi pendapatan dari penjualan hilang. Pendapatan negara juga berkurang besar," kata Budhi.

Menurut Budhi, hal yang dituduhkan KKP terhadap pabrik surimi sebelumnya tidaklah berdasar. KKP melalui Pelaksana Tugas (Plt) Perikanan Tangkap, M Zulficar Mochtar, mengatakan penutupan pabrik surimi bukan hanya karena larangan cantrang.

Hal itu terjadi karena pasokan ikan sebagai bahan baku pembuatan pasta ikan berkurang.

Zulficar menjelaskan, pabrik surimi setiap tahun membutuhkan jumlah ikan yang tidak sedikit, bahkan jumlahnya mencapai tangkapan ikan maksimal per tahun di Indonesia. Jumlah tangkapan ikan maksimal tahun 2017 dibatasi 80 persen dari populasi 9 juta ton ikan yang tersebar di seluruh perairan Indonesia.
“Kami atur semua WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) agar tangkapannya seimbang, agar ikan kita stabil. Pabrik surimi mengklaim akibat cantrang dilarang, tidak ada, mereka hanya cari-cari alasan agar mendapat ikan lebih banyak," kata Zulficar, Minggu (12/2).

Terkait hal ini, Budhi membantah bahwa surimi menggunakan banyak bahan baku ikan. Dia menyebut, kebanyakan pabrik surimi hanya memanfaatkan ikan-ikan kecil seperti jenis kurisi, kuniran, swangi, kapasan, coklatan, dan bloso. 

Sekitar 40 persen dari total suplai ikan kecil digunakan pabrik surimi, yang jumlahnya berbeda setiap hari. Sementara 60 persen lainnya dimanfaatkan oleh pengolah ikan lokal.

Hasil olahan Surimi menghasilkan berbagai jenis makanan layak konsumsi yang dengan mudah ditemukan masyarakat, seperti siomay, bakso ikan, krupuk ikan, empek-empek, otak-otak, hingga nugget ikan.

"Sebelum ada pabrik surimi, harga ikan itu sangat murah, per kilogram (kg) hanya sekitar Rp1.000 dan hanya dimanfaatkan untuk tepung ikan, sekarang mereka (nelayan) malah untung harganya bisa sampai Rp7 ribu per kg," kata Budhi.

Solusi Impor Ikan

Guncangan akibat larangan menggunakan alat tangkap membuat geram nelayan. Mereka merasa, aturan itu menyulitkan pencarian nafkah lantaran telah belasan tahun menggunakan alat tangkap itu.

"Mereka (KKP) telah memastikan aturan larangan berlaku per Januari 2017, tapi solusi yang ditawarkan tidak ada yang jalan. Jadi kami kesulitan melaut," kata Kajidin, nelayan asal Tegal.
Kajidin bersama ratusan nelayan Tegal bahkan sempat melakukan protes besar-besaran di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Nelayan ini menuntut agar larangan cantrang dikaji ulang.

Selain karena tidak ada alat tangkap pengganti yang selalu dijanjikan KKP dua tahun belakangan, nelayan juga merasa sulit mendapat ikan tanpa alat tangkap itu.

"Ya dikaji ulang, jangan hanya larang-larang saja, terus ngasih solusi tapi cuma ngomong doang," kata Kajidin.

Sementara itu, Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara Ono Surono menyebut, berbagai kebijakan yang dikeluarkan Menteri Susi justru tidak prorakyat, termasuk larangan cantrang.

"Saya tidak mengerti Bu Menteri membuat kebijakan ini pakai kajian akademik tidak? Lihat pro kontra tidak? Kok seperti asal-asalan, sesuka dia saja," kata Ono.

Ono menyatakan, tidak ada kajian ilmiah yang digelontorkan Susi sebelum menerbitkan larangan menggunakan cantrang dan sejumlah alat tangkap lainnya. Ono mendukung keinginan nelayan maupun pengusaha agar KKP mengkaji ulang larangan cantrang.

"Harusnya dari dulu (dikaji ulang) bukan sekarang, saat sudah ada pabrik dan ratusan nelayan yang terkena imbasnya, jangan seolah lebih sayang ikan dong daripada manusia," kata Ono.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Nilanto Perbowo menyebut, ada peluang impor ikan, khususnya bahan baku bagi pabrik-pabrik surimi.
"Yang kami bicarakan adalah industri surimi bisa dapat bahan baku, nelayan yang tadinya menggunakan cantrang juga tidak mengalami kerugian," kata Nilanto kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/2).

Nilanto meminta pabrik surimi memahami pengoperasian cantrang yang sudah dilarang lantaran dianggap berbahaya bagi habitat perikanan yang ada di WPPRI.

"Tidak ada, tidak bisa kita serta merta menghentikan larangan. Kami sudah melemparkan semua solusi ke masyarakat nelayan dan sudah berproses. Misal alat ganti, untuk pabrik kami sedang kaji, Misal dengan cara mengimpor bahan baku (ikan)," kata Ono.

Wacana impor ikan yang biasa digunakan untuk bahan baku pabrik surimi tersebut justru menimbulkan reaksi negatif dari sejumlah nelayan.

Bambang Wicaksono, nelayan asal Jawa Tengah, menyebut opsi yang dipilih untuk keberlanjutan pabrik surimi kurang tepat. Sebagai negara kepulauan dengan jumlah ikan melimpah, akan sangat lucu jika malah mengimpor ikan untuk produksi dalam negeri.

"Lucu saja dengarnya, lalu kami (nelayan) ini tidak dianggap sebagai nelayan, negara bahari kok mau impor ikan," kata Bambang.

Hal serupa disampaikan Sabar, nelayan asal Lampung. Menurut Sabar, jika pemerintah benar-benar melakukan impor ikan, maka akan menyakiti nelayan karena usahanya seolah tidak dianggap dengan kebijakan impor ikan tersebut.

"Kita beras sudah impor, sekarang mau impor ikan, saya kecewa," kata Sabar.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER