Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat lokal Papua khawatir perubahan PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) akan berdampak negatif pada mereka, kalau itu dilakukan sebelum kontrak Freeport berakhir. Mereka meminta Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang perubahan itu dicabut.
Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme, Odizeus Beanal meminta agar secepatnya pemerintah mencabut PP tersebut. "Cabut PP Nomor 1 Tahun 2017 yang telah berdampak sosial bagi anak bangsa," kata Odizeus dalam diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (5/3).
Efek negatif tersebut, menurutnya, antara lain Freeport mulai merumahkan ribuan pegawai, memutus kontrak sepihak dengan para kontraktor, hingga menghentikan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada pengurangan dana bagi LPMAK, lembaga lain. Keputusan ini meresahkan masyarakat. Biarlah perusahaan normal, sampai perundingan selesai," ujarnya.
Selain itu sembari menunggu 2019, diharapkan semua berjalan seperti biasa dan sehingga, Freeport dapat sekaligus berbenah terhadap rusaknya lingkungan di sekitar tambang saat ini.
"Kami hanya akan hidup sebagai pewaris kehancuran, pewaris kerusakan lingkungan hidup kepada generasi. Apa jaminan kami akan lebih baik dari perseteruan ini," kata Odizeus.
Perundingan Tidak di JakartaSelain meminta pencabutan, Odizeus juga ingin agar perundingan dilakukan dengan melibatkan warga di Timika, Papua, bukan di Jakarta. Pasalnya, sejak berdirinya Freeport di Indonesia belum ada satu pun kesepakatan yang melibatkan mereka.
"Kami harus berunding atau bermusyawarah di Timika, bukan di ruangan atau hotal Jakarta. Agar terbuka dan disaksikan oleh masyarakat dan roh leluhur kami," kata dia.
Ia menilai, sebagai masyarakat lokal, masyarakat tentunya memiliki andil menjadi bagian terhadap tanah yang dikelola seutuhnya oleh Freeport saat ini. "Kami pikir pemerintah, perusahaan harus duduk dan berbicara dengan kami. Gunung itu ada di wilayah kami. Jadi kami perlu dihargai, kami perlu dilibatkan, mau apapun jenis kontrak itu, kami memiliki hak," kata dia.
Sementara, Tokoh Masyarakat Papua, Thaha Al-Hamid berujar, bahwa menjelang 2019 musti ada manfaat baru yang diperoleh oleh tiap masyarakat. Ia menekankan, bahwa manfaat dari sumberdaya alam Papua bukanlah untuk sebagian pihak atau pemangku kepentingan semata.
"Saya kira rakyat harus dikuatkan untuk renegosiasi. Sekarang waktunya kita berdaulat terhadap sumber daya alamnya. Ketika ini diperpanjang dapat dinikmati semuanya. Bukan untuk elit-elitnyaya saja," kata dia.
Bagi dia, kekayaan sumber daya alam di Papua, semustinya dapat digunakan dan dikelola dan hasilnya tidak untuk satu pihak, melainkan kepada seluruh warga-warga di tanah air. "Mari kita kelola emas di sana, biar dibagi sama-sama buat orang miskin-miskin di Indonesia," kata dia.
Perundingan antara pemerintah pusat dengan PT Freeport Indonesia, mengenai perubahan ketentuan dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sampai saat ini masih berlangsung.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP 23 tahun 2010 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat sudah diterapkan.
Sehingga pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), membuat pernyataan kesediaan smelter dalam jangka waktu lima tahun, serta kewajiban divestasi hingga 51 persen.
(ded/ded)