Soal Tambang, Masyarakat Sipil Sebut Negara Didikte Korporasi

M Andika Putra | CNN Indonesia
Selasa, 11 Okt 2016 14:45 WIB
Ketergantungan terhadap perusahaan tambang ditengarai menjadi penyebab pemerintah tak berdaya saat berhadapan dengan korporasi.
Aktifitas pertambangan batubara di Kalimantan Timur. Aturan pertambangan belum dilaksanakan secara konsisten sehingga lebih menguntungkan korporasi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat sipil dari empat organisasi menilai negara, pemerintah Indonesia telah didikte oleh korporasi dalam mengelola sektor pertambangan khususnya di bidang mineral dan batu bara.

Hal tersebut, salah satunya tercermin dari isi usulan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang diusulkan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan.

Gabungan masyarakat sipil dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Publish What You Pay (PWYP), Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) itu berharap revisi yang diusulkan oleh Menteri Luhut tidak dilakukan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI Khalisah Khalid berpendapat, isi usulan revisi PP No 1/2014 memberi kelonggaran pada perusahaan tambang untuk mengekspor bahan mentah.

Lewat revisi itu, kata Khalisah, pemerintah akan memberikan periode relaksasi ekspor selama tiga hingga lima tahun, terhitung sejak 2017. Dengan begitu smelter yang dibangun oleh perusahaan menjadi sia-sia, karena perusahaan diberikan kelonggaran mengekspor bahan mentah.

"Kami menilai kebijakan ini hanya menguntungkan korporasi pertambangan. Mereka terus menguras kekayaan alam Indonesia dan menghancurkan lingkungan hidup," ujar Khalisah saat jumpa pers pada Selasa (11/10) siang.

Menyoal smelter, Kepala Kampanye JATAM Melky Nahar menjelaskan aturan mengenai kewajiban perusahaan tambang membangun smelter sebenarnya sudah diatur dalam Permen ESDM Nomor 11/2014.

Dalam peraturan itu, pemerintah memberikan toleransi pelonggaran ekspor melalui proses pembangunan smelter. Perusahaan akan mendapatkan izin ekspor bila pembangunan smelter mencapai 60 persen.

Tetapi, kata Melky, aturan pembangunan smelter itu tidak dijalankan oleh perusahaan tambang. Ia mencontohkan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.

"Terkait dengan PT Freeport ada aturan yang sudah dilanggar. Paling fatal dengan tidak membangun smelter karena berbagai alasan," katanya.

Melky melihat pemerintah seperti tidak berkutik ketika berhadapan dengan perusahaan tambang. Padahal, pemerintah sudah memiliki aturan yang ketat.

"Pemerintah ini seperti diatur oleh perusahaan, bukan mengatur perusahaan. Bagi kami upaya nyata pemerintah bernegosiasi dengan perusahaan belum berjalan dengan baik, karena perusahaan itu sendiri yang untung," ujar Melky.

Menurut Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Aryanto Nugroho, ketidakberdayaan pemerintah bisa terjadi karena masih bergantung pada perusahaan tambang. 

"Ketika ekspor yang dilakukan perusahaan diberhentikan karena aturan, perusahaan di daerah Indonesia tidak akan berjalan. Sedangkan roda perekonomian di daerah itu bergerak karena perusahaan tersebut. Kejadian itu membuat seakan-akan pemerintah yang salah, sehingga memberi kelonggaran terus" kata Aryanto.

Aryanto juga menjelaskan sejumlah poin di balik penolakan terhadap  revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Poin pertama karena revisi tersebut bertentangan dengan UU No.4 tahun 2009.

Poin kedua, revisi ini membuat perusahaan tambang merusak lingkungan hidup Indonesia. Perusahaan tambang akan terus menerus mengambil bahan mentah. Poin ketiga, kelonggaran ekspor bahan mentah ini membuat Indonesia tidak mendapat nilai tambah.

"Bahan mentah itu nilainya lebih rendah jika dibandingkan dengan yang sudah diolah dan dimurnikan. Kalau ekspor bahan mentah terus Indonesia tidak mendapat nilai tambah dan rugi," kata Aryanto. (wis/rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER