Jakarta, CNN Indonesia -- Ratusan tahun sebelum Jakarta sibuk menggarap proyek angkutan massal berbasis rel di tengah kota, Belanda telah menghadirkan trem di Kota Batavia sebagai alat transportasi pada 1869.
Namun keberadaan trem bertenagakan empat ekor kuda itu menyisakan satu persoalan pelik di tengah kota: kuda-kuda itu buang hajat dan kencing tak mengenal tempat.
Persoalan lain yang lebih mengkhawatirkan dari itu, kuda-kuda penarik trem banyak mati akibat kelelahan. Harian
Java Bode yang terbit di Batavia melaporkan sepanjang 1872 tercatat 545 ekor kuda mati, antara lain disebabkan kelelahan menarik trem.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wartawan senior Alwi Shahab dalam buku ‘Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi’ menyebut kereta panjang yang mampu memuat 40 penumpang itu beroperasi di tengah kota, dari pagi sampai malam, dengan tarif 10 sen.
Pada 1881 moda transportasi kemudian berganti menjadi trem uap bertenagakan batu bara di tungku bakar. Jarak tempuhnya lebih jauh namun suaranya bising.
Kurang dari 20 tahun setelah itu muncul trem listrik yang tenaganya dialirkan melalui pantograf dan kabel-kabel listrik di atasnya. Trem uap sementara itu berhenti beroperasi pada 1933.
 Pekerja di terowongan proyek MRT. Pemerintah kini menggenjot sarana transportasi publik berbasis rel demi menyambut Asian Games 2018. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Pada saat bersamaan, dekade 1930-an, opelet mulai menjamur di Jakarta. Mobil sedan modifikasi merek Morris buatan Inggris itu beroperasi pada trayek terbatas yang tak terjangkau trem listrik. Wilayah jangkauannya kala itu banyak di bilangan Jakarta Timur.
Opelet telah menjadi semacam ikon angkutan murah Betawi. Popularitasnya belakangan kembali diangkat lewat sinetron 'Si Doel Anak Sekolahan'. Kendaraan yang menjadi sumber rezeki Doel dan Mandra itu melekat di hati masyarakat.
Pasca era kemerdekaan, pemerintah mulai berbenah. Gubernur DKI Sudiro pada 1960 menyetop operasi trem karena dianggap sumber kemacetan, terutama di beberapa ruas jalan di pusat kota. Presiden Sukarno pun sepakat dan mengusulkan metro atau kereta api bawah tanah sebagai gantinya.
Transportasi untuk membantu mobilitas warga di dalam kota perannya digantikan oleh bus yang dikelola oleh Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Keberadaan bus di Jakarta kelak akan semakin menjamur dengan kehadiran Metromini dan Kopaja.
Awal dekade 1960-an di sisi lain menjadi pertaruhan Presiden Sukarno dalam hal pelayanan transportasi, mengingat kala itu dia berinisiatif membuka ajang Olimpiade tandingan bernama Ganefo.
Bemo, mobil angkut barang beroda tiga produkan Jepang, saat itu diandalkan sebagai moda transportasi untuk mengantar para atlet dari penginapan ke Istora Senayan, yang menjadi lokasi ajang Ganefo pada 1963.
 Meski sudah dilarang, bemo masih tetap beroperasi di sejumlah tempat di Jakarta. (Antara Foto/Rivan Awal Lingga) |
Kehadiran bemo itu sekaligus menambah alternatif warga dalam memilih angkutan umum selain opelet, yang pada saat itu telah mengantongi izin trayek resmi sehingga wilayah operasinya semakin meluas.
Usai Ganefo digelar, Gubernur Soemarno Sosroatmodjo (1964) berusaha merealisasikan usulan Soekarno soal kereta api bawah tanah. Dia kala itu sudah mempertimbangkan kemacetan Jakarta seiring peningkatan jumlah penduduk dan mobilitasnya.
Kereta bawah tanah atau metro diandalkan sebagai pengganti jalur kereta api permukaan Manggarai-Gambir-Jakarta Kota dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota yang sudah lebih dulu ada. Hingga rezim berganti, rencana itu tak pernah terwujud.
Memasuki Orde Baru, penataan transportasi berada di tataran angkutan umum kecil. Gubernur Tjokropranolo (1977) menghadirkan mikrolet sebagai pengganti opelet yang disetop izinnya oleh gubernur sebelumnya, Ali Sadikin. Opelet kala itu sudah mulai uzur dan tak lagi bisa diotak-atik tanpa ketersediaan onderdil.
Sejak itu tak ada perubahan signifikan di sektor pelayanan transportasi publik Jakarta. Era Gubernur Soerjadi Soedirja (1993) muncul usulan rencana membangun transportasi light rail transit (LRT). Namun lebih dari satu dekade setelahnya, rencana itu tak kunjung direalisasikan.
 Bus Transjakarta mulai beroperasi di era kepemimpinan Gubernur Sutiyoso (2004). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Alih-alih, Gubernur Sutiyoso (1997-2002) menawarkan solusi mengatasi kemacetan Jakarta dengan transportasi massal monorel dan bus Transjakarta (2004). Belakangan rencana pembangunan monorel itu berakhir sebagai 'monumen' 90 tiang pancang yang terbengkalai di sepanjang Jalan Asia Afrika-Kuningan, Jakarta Selatan.
Ketidakjelasan proyek dan dana investasi membuat proyek monorel itu dibatalkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (2015). "Tiang itu tidak jelas, jadi monumen sejarah saja, bahwa terjadi kebodohan Pemprov DKI saking nafsunya kepingin ada transportasi massal," ujar Ahok, sapaan Basuki, kala itu.
Bus Transjakarta menjadi satu-satunya terobosan alternatif pelayanan transportasi di era reformasi kala itu. Sutiyoso memilih Transjakarta karena hitung-hitungan ongkosnya lebih murah ketimbang MRT.
Setahun setelah bus Transjakarta beroperasi, usulan membangun angkutan massal berbasis rel MRT kembali mencuat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu menegaskan bahwa proyek MRT Jakarta merupakan proyek nasional. Pemerintah pusat dan Pemprov DKI kemudian saling berbagi tugas.
 Sejumlah kendaraan melintas di antara tiang monorel yang terhenti pembangunannya di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Setelah mendapat dana pinjaman dari Jepang, peletakan batu pertama dilakukan Gubernur Joko Widodo (2013) di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Dua tahun kemudian, setelah Jokowi menjabat presiden, proyek angkutan massal LRT diresmikan di Gerbang Tol TMII, Jakarta Timur.
Dua megaproyek transportasi itu telah mengubah wajah kota Jakarta baik dari segi tata ruang maupun transportasi publiknya sendiri. Jika dulu Soekarno menyiapkan bemo untuk Ganefo, pemerintah kini mengandalkan MRT dan LRT untuk persiapan Asian Games 2018.
Terlepas dari itu, keberadaan MRT dan LRT nantinya bakal melengkapi Transjakarta yang lebih dulu berperan sebagai BRT (Bus Rapid Transit). Tiga moda transportasi itu diandalkan sebagai tulang punggung transportasi integrasi yang menjadi program rebutan Ahok-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang kini memasuki babak putaran akhir Pilkada DKI 2017.
Dua pasangan kontestan Pilkada DKI itu kini bertarung ide dan gagasan dalam membenahi pelayanan transportasi publik di Jakarta. Ahok-Djarot fokus membenahi proyek yang sedang berlangsung, sementara Anies-Sandi mengandalkan program berjuluk OK Otrip.
Gagasan program yang mereka usung bakal dipaparkan dalam debat putaran dua yang digelar KPU DKI jelang pemungutan suara. Rakyat bakal menyaksikan janji-janji baru dari para calon pemimpin dalam menata pelayanan transportasi publik di ibu kota.