Jakarta, CNN Indonesia -- Sutino Hadi alias Kinong (59) keluar rumah agak kesiangan, pagi itu, Rabu (21/3). Jam menunjuk pukul 06.15 WIB ketika Kinong memanaskan mesin bemo. Tak habis sebatang rokok, dia langsung meluncur ke pangkalan tak jauh dari Stasiun Karet, Jakarta Pusat.
Di sana 4-5 bemo sudah berderet rapi memangkal antrian jatah penumpang. Menggaet penumpang pada jam pagi tidaklah sulit. Tanpa harus berteriak atau melambaikan ajakan ke pejalan kaki, bemo lebih sering terisi dengan sendirinya.
Selain lebih praktis, bemo dipilih penumpang ketimbang ojek karena harganya. Jarak jauh-dekat dipatok Rp3.000,-. Dengan kapasitas 6-8 orang, penumpang terbiasa duduk berhimpitan hingga beradu lutut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kinong tak lama dapat giliran. "Tunggu satu lagi ya, mbak," kata dia ke penumpang yang duduk di sebelah kemudi. Bemo pun melaju tak sampai hitungan menit.
 Hanya berbekal ijazah SD, mencari nafkah sebagai sopir Bemo jadi pilihan yang realistis bagi Kinong. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.(CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kinong adalah pelaku sejarah transportasi massal di Jakarta. Bersama bemonya, dia menjelajah sudut-sudut jalan ibu kota sejak 1976.
Bemo mulai populer di Jakarta semasa Kinong masih balita. Kendaraan buatan Jepang itu diandalkan oleh Presiden Soekarno sebagai moda antar-jemput para atlet peserta olahraga Ganefo 1963.
Di Jepang, kendaraan bermerek Daihatsu Midget itu diperuntukkan sebagai moda pengangkut barang. Indonesia mengalihfungsikan kendaraan beroda tiga itu laiknya becak (ber-)motor. Istilah bemo kemudian melekat untuk mempersingkat sebutan.
Pemerintah kala itu turut meluncurkan bus Metromini sebagai penunjang operasional moda transportasi Ganefo. Namun bemo tetap diandalkan untuk trayek jangka pendek karena lebih praktis dan lincah menjangkau jalan-jalan sempit.
Popularitas bemo lantas melejit. Distribusi kendaraan meluas dan merambah ke beberapa kota seperti Bogor, Bandung, Surabaya, Malang, Padang, juga Denpasar.
Di Jakarta, bemo kemudian diandalkan sebagai angkutan umum pengganti becak. Tak jarang wisatawan domestik maupun mancanegara penasaran mencoba naik bemo.
Mulanya bemo tidak bertrayek, tapi berfungsi layaknya taksi. Trayek khusus kemudian diberlakukan dengan jalur yang tidak dilalui bus ataupun mikrolet.
Dekade 1970-1980an boleh dibilang era moncernya bemo. Sampai-sampai bemo diidentikkan dengan pelawak Warkop DKI, Dono, yang kala itu juga sedang berada di puncak masa kejayaan sebagai penghibur layar lebar.
 Kinong mengais rezeki dengan bemo demi menafkahi keluarga dan tujuh putra-putrinya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Lambat laun kota berkembang. Transportasi publik dan tata ruang Jakarta pun berevolusi. Ruang gerak bemo kian terbatas setelah Pemprov DKI melarangnya berkeliaran.
Bemo mulai ditertibkan ketika masa akhir rezim Orde Baru terbit Instruksi Gubernur No.33 Tahun 1996 tentang Peningkatan Pelayanan dari Angkutan Bemo menjadi Bus Kecil. Bemo dinilai sudah terlalu tua dan menyebabkan polusi udara.
Sejak itu, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), serta surat izin kelaikan jalan untuk bemo tidak lagi diterbitkan.
Tak cuma dibatasi trayek dan disetop registrasi, urusan onderdil untuk kebutuhan perawatan pun terbilang langka. Pihak pabrikan tak lagi menyuplai suku cadang sejak 1980-an.
Kinong dan ratusan sopir bemo lainnya selama ini mengandalkan onderdil tiruan, tanpa bantuan bengkel. "Sopir bemo pasti bisa nyervis sendiri. Kalau enggak, pasti kami ikut bantu," kata Kinong.
Ibarat hidup segan mati tak mau, bemo bertahan dalam kondisi morat-marit bersama para pengais rezeki di baliknya.
Total bemo yang ada di Jakarta saat ini mencapai 228 unit. Hasil survei Dinas Perhubungan Jakarta kuartal akhir tahun lalu menyebut 165 di antaranya masih beroperasi di tujuh trayek.
 (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani) |
Pada 2007, terbit Perda Nomor 8 tentang Ketertiban Umum. Bemo dilarang beroperasi karena tergolong sebagai angkutan umum jenis empat bermesin dua tak. Aturan itu termaktub pada Pasal 2 ayat 6 beserta penjelasannya.
Pemprov DKI lantas mematok 2011 Jakarta bebas bemo. Namun target berakhir menjadi pencapaian muskil. Artefak bersejarah itu hingga kini tetap bergentayangan mengais ceceran penumpang di trayek yang tak terjamah angkutan umum lebih besar.
Sementara pagi itu bemo Kinong masih mengitari kompleks perkantoran di wilayah Kecamatan Tanah Abang, Karet-Sudirman. Pada jam pagi, penumpang kebanyakan pekerja kantor yang baru turun dari moda bertrayek panjang seperti kereta listrik, Transjakarta, mikrolet, ataupun Kopaja.
Pagi beranjak siang. Jam menunjuk pukul 10.30 WIB. Bulir keringat mulai menetes di pelipis Kinong. Orang tua berkulit legam dengan perawakan mungil itu sudah tujuh putaran mengantar penumpang.
Kinong pun pulang untuk mengambil jeda kegiatan sebelum istirahat siang.
Selanjutnya.. Kinong nyaris saja menjual bemo yang telah menafkahi hidup keluarga selama lebih dari 40 tahun...
Kinong nyaris saja menjual bemonya Pada 2010. Tawar-menawar harga sudah disepakati dengan pembeli. Bukan lantaran was-was karena Pemprov DKI mau membersihkan bemo, tapi lebih disebabkan sepi penumpang.
Penumpang bemo memang selalu ada, kata Kinong, tapi kini animonya turun drastis. Belakangan, dalam sehari Kinong biasa pulang mengantongi penghasilan Rp70-100 ribu. Uang itu mesti cukup buat menghidupi keluarga dengan tujuh putra-putri.
Kinong cinta mati dengan bemonya. Bemo urung dijual karena pada saat bersamaan, dia menyanggupi tawaran proyek dari pegiat swadaya masyarakat, Henrico Salim.
Rico saat itu punya proyek menjadikan bemo sebagai sarana internet keliling, alias Netling. Tapi nahas di tengah jalan proyek mandek tanpa sebab yang diketahui Kinong.
Proyek kemudian berganti dengan uji coba bemo listrik. Itu pun tak berlangsung lama. Begitu dicoba di lapangan, daya mesin listrik tak kuat membawa beban banyak dan menempuh jarak jauh.
Rencana proyek-proyek itu kandas di tengah jalan. Hingga syahdan pada 2012, kolega Rico di Universitas Tarumanegara mempertemukan Kinong dengan sosiolog Imam Prasodjo. Akademisi berambut putih itu kemudian menawarkan proyek perpustakaan keliling bersaranakan bemo.
Kinong senang bersosial. Dia pun kembali menyanggupi. Urusan stok buku ada banyak penyumbang. Mulai dari donatur perusahaan hingga lembaga pegiat sosial ikut mengulurkan bantuan.
Sejak proyek edukasi gratis itu berjalan, Kinong jarang mangkal dan menarik penumpang pada jam siang. Sebelum terik jatuh di ubun kepala, Kinong akan pulang untuk menyulap bemonya menjadi etalase buku bacaan edukasi anak.
Dari situ dia memburu waktu untuk mengejar jam pulang/ istirahat sekolah-sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Sasarannya terutama adalah sekolah dasar dan PAUD Kecamatan Tanah Abang.
 Kinong rutin mendatangi sekolah-sekolah ketika jam istirahat, di sela-sela waktunya mencari nafkah. Tak jarang Kinong harus berhadapan dengan birokrasi yang sulit. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Perpustakaan bemo itu tak pernah mangkal lama. Kurang dari dua jam Kinong akan pulang untuk istirahat siang, sebelum kembali narik bemo sore hari pada jam pulang kerja orang kantoran.
Bemo bukan sekadar sumber penghasilan bagi Kinong. Lebih dari itu, ia merupakan pendamping Kinong menapaki sejarah kehidupan jalanan di jantung ibu kota Indonesia.
Bersama bemonya, Kinong turut menyaksikan bagaimana Jakarta bertransformasi menjadi kota metropolitan dengan kompleksitas tata ruang dan sarana transportasi publiknya.
Pada saat bersamaan, Kinong tetap bertahan dengan bemo seiring berkembangnya transportasi massal di Jakarta: mulai dari Metromnini, Kopaja, mikrolet, Transjakarta, dan yang paling anyar Pemprov DKI tengah menyiapkan infrastruktur transportasi berbasis rel untuk LRT dan MRT.
Transportasi Jakarta berevolusi. Keberadaan bemo tak lagi masuk hitungan.
Kinong kini berusaha mendekatkan bemo ke masyarakat melalui kegiatan sosial. Tak cuma perpustakaan keliling, kendaraan yang menjadi ladang nafkah Kinong itu juga kadang disulap menjadi Bemoskop, alias bemo bioskop.
Bemoskop jadi kegiatan Kinong mengajak mesyarakat berkumpul di lahan terbuka sambil menikmati 'layar tancap' gratis bersaranakan bemo.
 Tiap sabtu malam minggu Kinong mengubah bemonya menjadi layar tancap. Perkenalannya dengan komunitas Ruang Rupa melancarkan gagasan Bemoskop (Bemo Bisokop). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Pria berkumis tebal itu punya harapan bemo menjadi abadi sebagai simbol atau ikon transportasi publik Jakarta, alih-alih berakhir jadi kendaraan tua yang dicampakkan tak ubahnya rongsokan.
Pemprov DKI telah memasukkan bemo dalam 'daftar hitam' kendaraan umum selama lebih dari dua dekade. Kinong kini menaruh harapan pada dua pasangan calon pemimpin yang bertarung di Pilkada DKI kelak bisa berkompromi dengan nasib bemo dan para sopir yang berada di balik kemudinya.
Dia berharap, siapapun pemimpin Jakarta yang terpilih nantinya merestui 'peremajaan' bemo dan memaknainya sebagai kendaraan klasik bernilai historis.
“Ini kan hitungannya sejarah. Kenang-kenangan untuk cucu kita. Apa salahnya kalau bemo jadi ikon transportasi Jakarta? Saya kira akan menarik karena banyak juga wisatawan asing yang belum pernah naik bemo,” kata Kinong.