Jakarta, CNN Indonesia -- KPK meminta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim pulang ke Indonesia. Penyidik KPK membutuhkan keterangan Sjamsul pada penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Mudah-mudahan beliau datang ke kantor KPK, memberikan penjelasan rinci," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan pada konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/4).
Basaria menuturkan, KPK telah mendapatkan informasi tentang keberadaan Sjamsul di Singapura. Ia berkata, Sjamsul berada di negara itu sejak 2015.
Kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail, mengatakan kliennya akan mengambil langkah strategis menyusul penetapan tersangka KPK terhadap Syafruddin. Maqdir menyebut surat keterangan lunas yang diterbitkan Syafruddin untuk BDNI merupakan bagian dari kebijakan pemerintah kala itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"
Released and
discharged sudah diberikan oleh pemerintah dan BPPN sejak MSAA ditandatangani. Jadi SKL itu adalah kelanjutan dari penyelesaian BLBI," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com.
Selasa petang tadi, KPK menetapkan Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka penerbitan SKL BLBI kepada BDNI milik Sjamsul Nursalim. Syafruddin diduga merugikan keuangan negara hingga Rp3,7 triliun.
Syafruddin disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sejak 2013, KPK sebelumnya telah menyelidiki penerbitan SKL BLBI kepada sejumlah pengusaha yang diterpa krisis keuangan pada periode 1997 hingga 1998. Sedikitnya, ada 48 bank yang menerima bantuan Bank Indonesia, dengan total Rp147,7 triliun.
KPK sudah meminta keterangan dari sejumlah pejabat BPPN hingga menteri era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri.
SKL BLBI sendiri dikeluarkan BPPN di pemerintahan Megawati, berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. SKL tersebut dipakai Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/ SP3) terhadap sejumlah debitur bermasalah.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, dari Rp147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan, Rp138,7 triliun dinyatakan merugikan negara.