Syafruddin Temenggung, Insinyur yang Tersungkur Karena BLBI

CNN Indonesia
Selasa, 25 Apr 2017 17:19 WIB
Syafruddin Temenggung usai memimpin BPPN pada 2004 tersangkut sejumlah masalah korupsi. Kini, KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi BLBI.
Syafruddin Temenggung usai memimpin BPPN pada 2004 tersangkut sejumlah masalah korupsi. Kini, KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus BLBI. (CNN Indonesia/Lalu Rahadian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Syafruddin Arsyad Temenggung tak punya latar belakang ekonomi ketika dia dilantik menjadi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 22 April 2002 silam.

Syaf, demikian dia biasa dipanggil, adalah seorang insinyur. Ia mendapatkan gelarnya di jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1983.

Kala itu Syaf ditunjuk Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksama Sukardi untuk menjadi kepala BPPN menggantikan I Putu Ary Suta. Syaf pun langsung tancap gas, salah satunya dengan mengubah struktur dan kewenangan kepala BPPN agar tak terlalu sentralistik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Syaf memimpin BPPN saat Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa, ketika masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tengah memanas. BPPN sendiri dibentuk pada awal 1998.
Akhir Desember 2002, Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Inpres tersebut jadi landasan pemerintah mengeluarkan jaminan kepastian hukum kepada para debitur BLBI yang telah melunasi kewajiban, atau menindak secara hukum mereka yang tak melaksanakan kewajibannya.

Berkat Inpres itu juga BPPN bisa menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL).

Dalam sejumlah artikel, Syaf hanya dua tahun memimpin BPPN karena Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN. Praktis tugas pria yang meraih gelar doktor di Universitas Cornell, New York itu berakhir.

Di periode akhir kepemimpinan Syaf, BPPN mengeluarkan SKL kepada debitur BLBI, salah satunya ke Sjamsul Nursalim pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Selepas menjabat BPPN, Syaf mulai tersandung sejumlah kasus.

Pada 2006 Kejaksaan Agung menetapkan Syaf dan Komisaris PT Rajawalli III, Nyono Soetjipto, sebagai tersangka dalam penjualan aset Pabrik Gula Rajawali III di Gorontalo.

Syaf dijerat dalam kapasitasnya sebagai Kepala BPPN. Pabrik gula yang merupakan aset negara dan dikuasakan kepada BPPN, dijual dengan harga Rp84 miliar.

Padahal nilainya ditaksir ratusan miliar.

Namun kasus yang diusut Korps Adhyaksa itu dihentikan di tengah jalan karena penyidik menganggap tak cukup bukti. Pada 21 Juni 2007, penyidik menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) bernomor Print-01/O.1.14/Ft/06/2007.

Jaksa Agung ketika itu, Hendarman Supandji, menyetujui usulan penghentian perkara tersebut.

Kasus VLCC Pertamina

Syaf yang pernah menduduki kursi Dewan Komisaris Pertamina, juga terseret kasus penjualan dua kapal tanker raksasa (very large crude carrier--VLCC) yang melibatkan Laksamana Sukardi. Pada kasus ini, Laksamana ditetapkan sebagai tersangka, selaku Komisaris PT Pertamina.

Kejagung memeriksa Syaf terkait persetujuan Dewan Komisaris soal penjualan kapal VLCC.

Namun, lagi-lagi Gedung Bundar menghentikan penyidik kasus itu. Alasannya karena Kejagung tak menemukan unsur kerugian negara setelah menggelar ekspos dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Setelah cukup lama nama Syaf tak menghiasi pemberitaan, pada medio September 2016, Syaf ditetapkan Kejagung sebagai tersangka kasus dugaan pembelian hak tagih (cessie) PT Adyaesta Ciptatama (AC) oleh PT Victoria Securities International Corporation (VSIC) dari BPPN pada 2003.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER