Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan menyatakan, bahwa kerugian negara atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) diduga mencapai Rp3,7 triliun.
SKL untuk Sjamsul, yang merupakan salah satu penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), diterbitkan oleh Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada April 2004 silam.
"Atas penerbitan SKL tersebut, diduga terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun," kata Basaria di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4).
Basaria menjelaskan, pihaknya mengendus kejanggalan dalam penerbitan SKL yang dikeluarkan oleh Syafruddin kepada Sjamsul. Pasalnya, kewajiban penyerahan aset oleh Sjamsul kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah adanya restrukturasi, Sjamsul baru menyerahkan sekitar Rp1,1 triliun. Sementara itu, kata Basaria, tagihan sebesar Rp3,7 triliun kepada Sjamsul tidak dilakukan dalam pembahasan dalam proses restrukturasi.
"Seharusnya masih ada kewajiban obligor setidaknya Rp3,7 triliun yang ditagihkan," tuturnya.
Basaria mengatakan, meski Sjamsul belum melunaskan tagihan kepada BPPN, Syarifudin mengeluarkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham terhadap Sjamsul. Padahal, ketika itu masih ada tagihan sebesar Rp3,7 triliun.
"Tersangka SAT selaku Kepala BPPN. Diduga telah menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi," tegas Basaria.
KPK menetapkan Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka penerbitan SKL BLBI kepada BDNI milik Sjamsul Nursalim pada hari ini. Syafruddin diduga merugikan keuangan negara hingga Rp3,7 triliun.
Syafruddin disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.