Pemerintah didesak mengubah peraturan soal penempatan buruh migran yang berlaku saat ini. Penempatan buruh migran melalui Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dianggap membuka celah terjadinya penyimpangan penyaluran buruh.
Organisasi Solidaritas Perempuan mencatat, masalah kerap terjadi pada penempatan buruh migran karena ulah PPTKIS. Hal tersebut dibuktikan dari penuturan kisah seorang bekas buruh migran bernama Lia (23).
Saat menghadiri acara konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Sabtu (29/4), Lia mengaku mendapat penempatan kerja di Arab Saudi. Sebelumnya ia dijanjikan akan dipekerjakan di Uni Emirat Arab.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lia berkata, ia dan kawan-kawannya tak mengetahui alasan perpindahan penempatan kerja itu. Setelah bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi sejak November 2016, ia memutuskan pulang ke Indonesia belum lama ini.
"Setiap tiga bulan sekali saya dipindahkan dari satu majikan ke majikan lain. Dijanjikan gaji 1200 riyal, tapi harus satu bulan saya masuk 40 hari kerja," tutur Lia.
Perempuan asal Sumbawa itu mengaku hingga kini tak mengetahui alasan perubahan penempatan dirinya dari Abu Dhabi ke Arab Saudi. ihat juga:
Aktivis Solidaritas Perempuan Nindy Silvie menilai, perubahan tempat kerja secara sepihak seharusnya tak terjadi jika pemerintah campur tangan hingga ke level teknis tata kelola migrasi.
"Ini terjadi karena pemerintah memberikan banyak tanggung jawab ke PJTKI. Kami ingin PPTKS hanya berfungsi sebagai agen perjalanan, yang merekrut calon buruh migran harusnya Dinas Ketenagakerjaan," ujar Nindy.
 Persoalan buruh migran merupakan isu yang tidak kunjung tuntas dari tahun ke tahun. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Pandangan serupa disampaikan aktivis Solidaritas Perempuan lainnya, Risca Dwi. Menurutnya, diskriminasi terhadap buruh migran perempuan masih terjadi karena Peraturan Menteri Tenaga Kerja 260/2015.
Risca menilai peraturan tentang penghentian dan pelarangan penempatan TKI pada pengguna perseorangan di negara kawasan Timur Tengah itu meningkatkan jumlah calon buruh migran yang terjebak praktik perdagangan orang.
Solidaritas Perempuan mencatat, sepanjang 2016, 17 persen kasus perdagangan orang melibatkan buruh migran.
"Buruh migran diberangkatkan dengan visa servis atau umroh. Jika majikan tak merasa puas dengan pekerjaan mereka, kontrak bisa diputus kapan saja," kata Risca.
Eksploitasi jam kerja terhadap buruh migran, khususnya perempuan, juga masih terjadi pasca terbitnya peraturan tersebut. Berdasarkan pengakuan Lia, ia sering bekerja hingga pukul 22.00 WIB atau tengah malam selama menjadi pekerja rumah tangga di Arab Saudi.
"Kalau lagi tidak ada pekerjaan bisa tidur jam 10 malam. Kalau ada, bisa sampai tengah malam," kata Lia.