ANALISIS

'Pencitraan' di Balik Walk Out di Rapat Hak Angket KPK

CNN Indonesia
Minggu, 30 Apr 2017 10:55 WIB
Sebanyak 30 anggota Fraksi Partai Gerindra kompak melakukan walk out karena menganggap rapat pemutusan hak angket untuk tugas dan kewenangan KPK tidak kondusif.
Puluhan anggota Fraksi Partai Gerindra yang menolak hak angket atas KPK walk out dari rapat. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya sepakat mengusulkan penggunaan Hak Angket terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengambilan keputusan itu sempat tidak kondusif lantaran Fraksi Partai Gerindra memilih walk out dari rapat karena tidak setuju dengan pengusulan hak angket tersebut.

Ada makna lain di balik walk out partai pimpinan Prabowo Subianto itu. Mereka juga merasa rapat paripurna tidak berjalan sebagaimana mestinya saat pengambilan keputusan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada anggota yang masih ingin bicara tapi palu diketok pimpinan. Kami berdiri dan memberi isyarat tetap saja diketok. Pimpinan kami maju ke depan tapi tidak didengar," kata Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjahid kepada CNNIndonesia.com melalui telepon, Sabtu (29/4).
Sebanyak 30 anggota Fraksi Gerindra kompak keluar ruangan ketika Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang melanjutkan ke agenda pidato penutupan masa sidang.

Walk out bukan lagi sesuatu yang tabu di ‘Senayan.’ Tapi kali ini aksi itu memiliki arti lain selain penolakan dan kekecewaan: pencitraan yang berujung langkah taktis politik.

"Hampir pasti sikap fraksi yang dipertontonkan secara terbuka ke publik selalu dilakukan untuk tujuan politis. Sikap Gerindra juga tak luput dari tujuan politik seperti itu," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus kepada CNNIndonesia.com.

Menurut Lucius, dalam konteks pengusulan hak angket dan walk out Gerindra, dampaknya bisa positif terhadap partai. “Tindakan Gerindra bisa jadi agar fraksi atau partai disukai publik. Itu menjadi modal politik untuk pemilu (Pemilihan Presiden 2019) ke depan.”
Pengusulan hak angket sendiri bermula dari keberatan anggota Komisi III yang disebut Penyidik KPK Novel Baswedan saat menjadi saksi di persidangan kasus e-KTP, 30 Maret lalu.

Novel menyebut ada enam anggota dewan yang mengancam Miryam, di antaranya politikus Golkar Bambang Soesatyo, Aziz Syamsuddin, politikus Gerindra Desmond J Mahesa, politikus Hanura Syarifudin Suding, dan politikus PDIP Masinton Pasaribu. Dalam rapat bersama KPK, Komisi III pun meminta rekaman yang menyebut enam nama pengancam Miryam itu diperdengarkan.

Namun KPK menolak. Hak angket lantas menjadi senjata utama DPR melemahkan KPK dengan dalih fungsi pengawasan. Dengan disetujuinya hak angket itu, pengusutan kasus korupsi bisa terhambat. Artinya, partai-partai yang mendukung hak angket itu ikut memperlambat penuntasan korupsi. Sebaliknya, yang mendukung—atau walk out—dianggap mendukung KPK.

Jika benar Gerindra walk out untuk pencitraan, ia bisa menggunakan keuntungan saat ini untuk meraup suara pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang. Apalagi pasangan yang didukung Gerindra, Anies Baswedan-Sandiaga Uno baru saja memenangi kontestasi Pilkada DKI 2017.

Kemenangan itu bisa menjadi pondasi yang cukup untuk dua tahun ke depan.
Namun Lucius menilai, pencitraan di isu pemberantasan korupsi tidak sepatutnya dilakukan. Seharusnya itu bidang yang tidak sekadar menjadi sarana pencitraan politik.

“Jika isu pemberantasan korupsi jadi alat pencitraan, sangat mungkin perilaku koruptifnya sendiri tidak jadi sesuatu yang penting. Anggota DPR bisa tetap korupsi, tetapi partainya terus menggonggong penuh semangat mendukung pemberantasan korupsi," ujar Lucius.

Dari sisi Gerindra, Sodik membantah walk out fraksi partainya merupakan politik pencitraan untuk meraup suara di Pemilihan Presiden 2019. Ia mengatakan, penolakan hak angket sesuai dengan arahan pimpinan partai dan sesuai dengan visi misi partai untuk memberantas korupsi.

"Kita tidak melangkah ke sana [Pilpres 2019], tapi kalau itu memenuhi aspirasi rakyat, alhamdulilah. Tapi penolakan bukan pencitraan atau langkah taktis," kata Sodik menegaskan.

Menanggapi itu, Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto memilik skeptis. Ucapan seperti itu, katanya, mudah keluar dari mulut politisi. Tapi apa yang diucapkan belum tentu sesuai dengan kenyataan yang akan datang.

Ia mencontohkan, Partai Demokrat yang dahulu mengusung slogan anti-korupsi. Sejumlah kadernya ikut dalam iklan yang dipasang di mana-mana. Namun justru beberapa kader di iklan itu jelas-jelas terjerat korupsi. Slogan itu pun menjadi ‘omong kosong’ belaka.
"Kalau pencitraan diikuti aksi nyata itu bagus, jangan hanya kosong saja. Bisa jadi bumerang kalau tidak ada aksi nyata. sehingga sulit mendapat suara publik [untuk Pilpres 2019],” kata Erwan kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Sabtu (29/4).

Erwan memandang apa yang dilakukan Fraksi Gerindra saat rapat paripurna merupakan investasi politik. Setiap partai pasti berlomba untuk menampilkan sosok positif untuk itu. Investasi itu, kata Erwan, akan berkembang bila dipupuk dengan kebijakan-kebijakan nyata.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER