Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah aktivis menganggap Komisi Nasional HAM gagal menjadi salah satu ujung tombak penegakkan hak asasi di Indonesia. Hal ini terlihat dari tak ada ketegasan sikap yang diambil Komnas HAM dan terlihat sarat kepentingan politik.
“Komnas HAM gagal tempatkan dirinya sebagai institusi penegak HAM karena selama ini lembaga itu tidak pernah menunjukan keberpihakan yang jelas dan keberanian,” Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati di kantornya di Jakarta, Minggu (14/5).
Asfinawati menyatakan, penanganan kasus HAM mandeg karena terus menerus terjadi bolak-balik berkas kasus antara Komnas HAM dan sejumlah lembaga pemerintah lain seperti Polri. Salah satunya penyelidikan kasus penembakan warga sipil di Paniai Timur, Papua Barat, Desember 2014 yang melibatkan TNI dan Polri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai insiden berdarah itu, Komnas HAM membentuk tim penyelidikan pada Januari 2016 dan tim adhoc penyelidikan pelanggaran HAM di Paniai, Maret 2016. Namun, usai membentuk tim penyelidikan, Komnas HAM menyimpulkan tak ada aktivitas pelanggaran di sana.
Yang terbaru, lanjut Asfinawati, penyelesaian kasus vaksin palsu yang mencuat pada Juli 2016. Hingga kini, Komnas HAM belum merilis rekomendasi publik tentang bagaimana pemerintah harus menindaklanjuti kasus ini.
Padahal, tutur Asfina, KontraS bersama YLBHI telah mengajukan laporan kepada Komnas HAM pada 25 Juli 2016 bahwa telah ada seorang bayi yang ditemukan meninggal setelah terpapar vaksin palsu di sebuah klinik di Jakarta pada 18 Mei lalu.
“Tidak ada kejelasan dari Komnas HAM hingga saat ini mengenai penanganan, tak hanya kedua kasus itu, tapi juga kasus lainnya,” ujar Asfina.
Senada dengan Asfina, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Khalisah Khalid juga menganggap Komnas HAM seolah hanya berlindung di bawah kewenangannya.
Meski kewenangan Komnas HAM terbatas hanya untuk mengajukan rekomendasi penanganan pelanggaran HAM kepada pemerintah, Khalisa menuturkan, komisi tersebut seharusnya bisa lebih memperjuangkan penegakkan hak asasi tersebut.
“Kami saja sebagai NGO yang tak punya kewenangan apa-apa masih bisa kasih terobosan, dorongan, dan istilahnya lebih didengar oleh lembaga pemerintah lain, khususnya kalau kami dalam konteks lingkungan biasanya sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” tutur Khalisah.
Menurut Khalisah, salah satu yang membuat kinerja Komnas HAM semakin melemah dan tidak transparan adalah dipicu oleh perubahan aturan internal lembaga yang dinilai sarat politik.
Salah satunya, lanjut Khalisa, perubahan tata tertib yang mengubah masa jabatan pimpinan Komnas HAM menjadi hanya satu tahun saja dari semula dua tahun dan akses masyarakat menyaksikan sidang paripurna yang dahulu bersifat terbuka atau terbatas kini menjadi terbatas dan tertutup rahasia.
“Ini tanda-tanda motif politik dan ambisi sejumlah pihak memperoleh jabatan untuk lemahkan kinerja Komnas HAM,” tutur Khalisah.
Selain itu, dia menyatakan, Komnas HAM saat ini juga tak lebih hanya dijadikan sebagai komisi rekonsiliasi, menghindari penegakkan melalui jalan hukum dalam proses penyelesaian pelanggaran hak asasi.
Upaya ini, tutur Khalisah, bertolak belakang dengan mandat, fungsi, dan tugas Komnas HAM.
“Setidaknya ada tiga komisioner Komnas HAM yang aktif terlibat dalam pertemuan dengan Jaksa Agung, Menkopolhukam, Kemkum HAM, Kapolri, TNI, dan BIN untuk bahas penyelesaian kasus pelanggaran berat melalui rekonsiliasi,” katanya.
“Tindakan ketiganya ini tentu merusak aturan hukum dan celah melanggengkan imunitas dan menyakiti perjuangan para korban pelanggaran HAM yang telah bertahun-tahun mendesak proses hukum,” ujar Khalisah menambahkan.
Komentar itu dilontarkan kedua aktivis tersebut menanggapi evaluasi kinerja Komnas HAM periode 2012-2017 yang dianggap memalukan.
Evaluasi kinerja ini dilakukan menyusul akan berlangsungnya pemilihan anggota Komnas HAM baru untuk periode 2017-2022 tahap ketiga oleh tim panitia seleksi pada 17-18 Mei mendatang.