Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli hukum pidana Universitas Bina Nusantara Ahmad Sofian menilai pentingnya definisi yang jelas terkait makar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selama ini tak ada tolak ukur yang jelas terhadap definisi makar dalam KUHP.
Menurut Sofian, suatu tindakan dapat diartikan makar jika memenuhi dua unsur yakni niat dan permulaan pelaksanaan. Permulaan pelaksanaan sendiri merujuk pada tindakan yang jelas menunjukkan upaya untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Hal ini diungkapkan Sofian saat menjadi saksi ahli dalam uji materi pasal makar yang diajukan lembaga kajian hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"MK harus menjelaskan secara klir tentang permulaan pelaksanaan itu, misalnya ada upaya beli senjata atau gerakan untuk bunuh presiden. Kalau sekadar mengobrol kritik pemerintahan, belum bisa dimaknai sebagai makar," ucap Sofian.
Selama ini, lanjut Sofian, aparat penegak hukum masih menerapkan pasal makar sesuai rezim pemerintahan yang berlaku. Dalam pemerintahan Orde Lama, pasal makar diterapkan ketika ada serangan.
Kemudian pada pemerintahan Orde Baru, pasal makar tak digunakan dan berganti Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang mengatur tentang tindakan merusak, menggulingkan, atau merongrong kekuasaan negara.
Sementara pada pemerintahan saat ini, pasal makar kembali marak digunakan untuk menjerat warga.
"Maka kami minta MK bisa mendefinisikan ulang makna makar. Bukan berarti kami tidak
concern pada kejahatan yang menyerang negara. Tapi bagaimana menegakkan negara tanpa melanggar hak asasi manusia," tuturnya.
 Sri Bintang Pamungkas pernah ditangkap karena tuduhan makar pada 2 Desember 2016. (Detikcom/Ari Saputra) |
Senada dengan Sofian, ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada Sri Wiyanti Ediyono menyatakan pentingnya pembatasan definisi makar dalam KUHP. Ketidakjelasan definisi makar dikhawatirkan menimbulkan penafsiran beragam dan tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.
"Makar ini harus didefinisikan secara limitatif. Jika tidak, dampaknya akan sewenang-wenang dan merugikan hak asasi manusia," kata Sri.
Menurut Sri, perbuatan makar harus memenuhi unsur permulaan pelaksanaan atau tindakan nyata menuju perbuatan tersebut. Sehingga, kata Sri, jika ada sekelompok orang yang melakukan kritik pada pemerintah tak serta merta disimpulkan sebagai perbuatan makar.
"Tapi kalau kritik disertai kekerasan itu sudah termasuk kejahatan," katanya.
Pasal makar dalam KUHP digugat oleh ICJR ke MK pada Desember 2016. Kata makar dalam aturan tersebut dinilai mengalami pergeseran makna. Dalam bahasa Belanda, makar berasal dari kata
aanslag yang berarti serangan. Kata ini kemudian diartikan dari serapan Bahasa Arab yakni makar yang berarti pengkhianatan.
Namun dalam bahasa Indonesia, definisi kata makar menjadi tak jelas. Pada sejumlah dakwaan di persidangan, makar tidak lagi dimaknai sebagai suatu serangan.
Terdapat enam pasal dalam KUHP yang diuji materi yakni Pasal 87, 104, 106, 107, 139 huruf a dan b, serta 140. Pasal tersebut menjelaskan berbagai macam perbuatan makar dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara. Pemohon meminta agar MK mempertegas kata makar sebagai serangan.
Selain ICJR, pasal makar juga digugat oleh sejumlah advokat yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA). Dua pasal yang digugat adalah Pasal 87 dan 110 ayat 1 KUHP.