Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Police Watch menyebut teror bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur sebagai serangan teroris paling besar terhadap Kepolisian. Serangan itu juga mencerminkan semakin nekatnya para teroris dalam menyerang Polri.
Ketua Presidium IPW Neta S Pane mengatakan, besarnya serangan itu bisa dilihat dari jumlah korban dari pihak kepolisian. Menurut dia, jumlah korban dalam serangan ini lebih banyak dibandingkan jumlah korban dalam teror-teror sebelumnya yang pernah dialami Polri.
"Serangan teror di Kampung Melayu adalah serangan terbesar yang pernah dialami Polri. Sebab ada 3 polisi tewas dan 5 polisi luka serta 5 warga luka dalam serangan itu," kata Pane dalam rilis yang diterima
CNNIndonesia.com, Jumat (26/5).
Teror bom di Kampung Melayu juga memperlihatkan bahwa para teroris semakin agresif dan nekat dalam melakukan perang terbuka terhadap Polri. Pane pun mengimbau segenap anggota Polri, terutama polisi yang bertugas di lapangan, semakin meningkatkan kewaspadaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perlu langkah antisipasi dari Polri agar anggotanya tidak kembali menjadi korban serangan terorisme. Jaringan dan otak serangan harus segera diungkap dan ditangkap," katanya.
Pane juga menduga teror di Kampung Melayu terhubung dengan jaringan terorisme global. Pasalnya, sebelum peristiwa itu, serangan teror bom juga terjadi di sejumlah negara.
"Hanya saja pelaku teror di Indonesia tergolong pengecut. Setelah melakukan serangan mereka 'tidur' tanpa ada pernyataan atau tuntutan apa pun. Berbeda dengan beberapa serangan teror di negara lain, pihak penyerang langsung menyatakan bertanggungjawab," ujarnya.
Senada, Ketua SETARA Institute Hendardi menyebut teror bom di Kampung Melayu jelas menyasar polisi. Menurutnya, kepolisian sengaja dijadikan target utama karena gigih memberantas terorisme dan jejaring gerakannya.
Meskipun sasaran utama adalah Polri, aksi teror selalu ditujukan untuk menebarkan ketakutan pada semua orang. "Karena itu setiap elemen bangsa harus menunjukkan bahwa kita "tidak" takut dengan teror, dan percaya aparat keamanan akan mampu mengatasi bersama elemen bangsa lainnya," kata Hendardi.
Hendardi juga mengajak semua pihak untuk lebih serius memberantas dan melawan terorisme. Upaya tersebut, kata dia, tak sekedar dibebankan kepada aparat negara, melainkan juga kepada elemen terkecil seperti keluarga, lingkungan, sekolah.
Lebih jauh, Hendardi meyakini bahwa terorisme adalah puncak dari intoleransi yang bermula dari pikiran intoleran. Oleh karena itu, kata dia, tindak pidana terorisme harus diatasi secara komprehensif dari hulu ke hilir.
"Karena hulu terorisme adalah intoleransi, maka aneka tindak pidana yang kontributif mempercepat transformasi intoleransi menuju terorisme merupakan bagian penindakan yang juga harus memperoleh prioritas penegak hukum," kata Hendardi.