Lebih lanjut, Erasmus menyampaikan, pasal krusial yang juga cukup dikhawatirkan melanggar HAM adalah pelibatan TNI dalam penaggulangan terorisme tanpa persetujuan presiden. Ia menilai, pasal itu memberi celah bagi TNI melakukan penyidikan hingga penuntutan yang sebenarnya dimiliki oleh Kepolisian atau Kejaksaan.
Erasmus kembali menjelaskan, pelibatan TNI tanpa izin presiden juga sejatinya bertentangan dengan pendekatan yang digunakan dalam UU Terorisme, yakni pendekatan criminal justice. Pendekatan itu mengedepankan peradilan pidana di mana Kepolisian sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh dalam penindakan.
Menurutnya, pelibatan TNI seharusnya tetap berpacu pada aturan dalam UU Nomor 34/2004 tentang TNI. Dalam poin ketiga pasal 7 ayat (2) huruf b menyebutkan operasi militer selain perang yang bisa dilakukan TNI yakni mengatasi aksi teroris.
Namun, pasal 7 ayat (3) dikatakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami sudah mengatakan tidak alergi dengan keterlibatan TNI, silakan saja. Tapi tidak urgent kalau diatur dalam UU Terorisme (baru). Sudah serahkan saja dalam mekanisme yan sudah ada,” ujarnya.
Pasal Krusial Yang Harus Ada
Erasmus menyatakan, pasal yang seharusnya masuk ke dalam RUU tersebut, yakni soal rehabilitasi dan ganti rugi bagi korban terorisme secara khusus. Saat ini penanganan para korban masih berdasarkan ketentuan UU Nomor 31/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurutnya, ganti rugi dan rehabilitasi bagi korban terorisme harus diatur secara terpisah atau diatur dalam ketentuan peralihan. Pasalnya, aturan dalam UU Nomor 31/2014 harus menunggu keputusan pengadilan sebelum proses ganti rugi atau rehabilitasi dilaksanakan oleh pihak terkait.
Tak hanya itu, mekanisme dalam UU tersebut tidak jelas dan membuat hak para korban terpinggirkan.
“Bagi kami nomor satu yang perlu diatur adalah masalah korban. Hak korban selama ini masih diletakkan sejajar dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang menurut kami justru sebenarnya sumber masalah,” ujarnya. Berdasarkan data ICJR, tidak satupun korban terorisme yang pernah mendapat ganti rugi dalam bentuk uang dari pemerintah, dalam hal ini dari Kementerian Keuangan. Seluruh korban sampai saat itu hanya bisa pasrah meski proses peradilan menyatakan berhak mendapat ganti rugi.
Di sisi lain, ia berharap, DPR dan pemerintah mampu duduk bersama menyelesaikan segala polemik dalam RUU tersebut. Ia berkata, pengesahan RUU Terorisme tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM.
Lebih dari itu, ia menekankan, RUU yang diklaim sangat tegas menindak teroris itu juga belum tentu berhasil meredam terorisme. Selama keadilan sosial tidak berjalan dengan baik dan ketimpangan di masyarakat masih ada, maka tindak pidana dengan tujuan tertentu seperti terorisme masih akan terjadi di Indonesia.