Cegah Radikalisme, Pemerintah Diminta Revisi Kurikulum Kampus

CNN Indonesia
Kamis, 08 Jun 2017 03:55 WIB
Salah satu poin revisi adalah dengan menambah jam mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan yang saat ini dianggap masih sangat singkat.
Ilustrasi. (Antara Foto/Indrianto Eko Suwarso)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat politik dari Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta, Adi Prayitno menyarankan agar pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, merevisi kurikulum perguruan tinggi. Revisi kurikulum diyakini mampu mencegah paham radikalisme berkembang di kampus.

Salah satu yang penting untuk direvisi, menurut Adi, adalah yang berkenaan dengan mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan. Menurutnya, jam belajar dua mata kuliah itu saat ini sangat kurang sehingga terkesan hanya sebagai pelengkap.

Adi mengatakan, penambahan jam belajar mata kuliah tentang Pancasila sangat perlu dilakukan. Terlebih, mata pelajaran tentang Pancasila telah dipelajari di jenjang SMP dan SMA, sehingga lebih baik jika kurikulum tentang Pancasila di perguruan tinggi disajikan secara lebih mendalam. 
"Jangan hanya satu jam setengah, atau hanya akan jadi sekadar formalitas," kata Adi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mahasiswa juga perlu diberi tuntutan khusus agar benar-benar memahami nilai-nilai kebhinekaan yang terkandung dalam Pancasila.

Dengan cara-cara itu, kata Adi, paham radikal akan sulit masuk ke dalam pikiran mahasiswa.
Adi mengungkapkan sejauh ini mahasiswa memiliki rasa antusias yang minim saat kuliah Pancasila. Itu terjadi karena tidak ada tuntutan khusus yang dibebankan kepada mahasiswa dalam memahami nilai-nilai Pancasila.

"Bahkan kalau tidak diwajibkan, ya mata kuliah ini tidak akan ada peminatnya," ujar Adi.

Menurut Adi, revisi kurikulum lebih berguna dan berpengaruh ketimbang merevisi proses pemilihan rektor. Menurutnya, meskipun rektor dipilih atas persetujuan presiden, tidak ada yang bisa menjamin paham radikalisme tidak masuk dan berkembang di kampus-kampus. 
Pemerintah pada 1 Juni lalu memang sempat mewacanakan perubahan sistem pemilihan rektor perguruan tinggi. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, dalam perubahan nanti, Presiden memiki kewenangan dalam menunjuk rektor perguruan tinggi.

Namun wacana tersebut diluruskan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir. Kemarin, Nasir membantah pelibatan Presiden dalam memilih rektor perguruan tinggi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER