Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) antara PT Pelindo II dengan Hutchison Port Holding terindikasi merugikan keuangan negara sebesar US$360 juta atau sekitar Rp4,08 triliun.
Kerugian itu berasal dari kekurangan
upfront fee yang seharusnya diterima oleh PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoprasian PT JICT.
Hal tersebut berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK yang diminta DPR pada 16 Februari 2016. Laporan itu diserahkan oleh BPK kepada Ketua DPR Setya Novanto dan Ketua Pansus Pelindo II Rieke Diah Pitaloka di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (13/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, BPK menyimpulkan ada berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoprasian PT JICT yang ditandatangani pada 5 Agustus 2014.
BPK menduga penyimpangan dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dilakukan agar tercapainya dukungan perpanjangan perjanjian kerjasama pengelolaan pelabuhan milik Pelindo II dengan Hutchison Port Holding.
“Penyimpangan mengakibatkan indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II minimal sebesar US$306 juta atau setara dengan Rp4.081.122.000.000 dengan kurs tengah Bank Indonesia 2 Juli 2015 sebesar Rp13.337 per dolar,” ujar Moermahadi di Gedung DPR, Jakarta.
 Rieke Diah Pitaloka saat rapat Pansus Pelindo II beberapa waktu lalu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Moermahadi menuturkan, ada lima temuan spesifik yang diperoleh BPK dalam proses pemeriksaan investigatif.
Pertama, rencana perpanjangan PT JICT tidak pernah dibahas dan dimasukkan sebagai rencana kerja dan RJPP dan RKAP PT Pelindo II, serta tidak pernah diinfokan kepada pemangku kepentingan dalam Laporan Tahunan 2014. Padalah rencana itu telah dinisiasi oleh Dirut PT Pelindo II sejak tahun 2011.
Kedua, perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoprasian PT JICT yang ditandatangani PT Pelindo II dan HPH tidak menggunakan permohonan ijin konsesi kepada Menteri Perhubungan terlebih dahulu.
“Ketiga, penunjukkan Hutchison Port Holding oleh PT Pelindo II sebagai mitra tanpa melalui mekanisme pemilihan mitra yang seharusnya,” ujarnya.
Keempat, perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoprasian PT JICT ditandatangani oleh Pelindo II dan Hutchison Port Holding tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan RUPS dan persetujuan dari Menteri BUMN.
Peran Deutsche BankMoermahadi menyampaikan, penyimpangan kelima yang dinilai krusial, yakni soal penunjukkan Deutsche Bank sebagai
financial advisor. BPK menduga, penunjukan itu bertentangan dengan peraturan perundangan.
“Hasil pekerjaan Deutsche Bank berupa valuasi nilai bisnis perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoprasian PT JICT juga diduga dipersiapkan untuk mendukung tercapainya perpanjangan penjanjian kerjasama dengan Hutchison Port Holding,” ujarnya.
Moermahadi memaparkan, ada lima tindakan pelanggaran yang dilakukan Pelindo II dengan Deutsche Bank.
Pertama, Direksi PT Pelindo II tidak memiliki
owner etimate atau harga perkiraan sendiri, sebagai acuan dalam menilai penawaran dari Hutchison Port Holding.
“Penilaian penawaran diserahkan kepada pihak
financial advisor, yakni Deutsche Bank,” ujar Moermahadi.
Kedua, Biro Pengadaan PT Pelindo II patut diduga meloloskan Deutsche Bank sebagai
financial advisor meskipun tidak lulus dalam evaluasi administrasi.
Ketiga, Deutsche Bank terindikasi memiliki konflik kepentingan karena merangkap sebagai negosiator,
lender, dan
arranger.
Keempat, hak dan kewajiban antara PT Pelindo II dengan Hutchison Port Holding telah disepakati sebelum valuasi bisnis yang seharusnya dijadikan bahan pertimbangan belum disiapkan oleh Deutsche Bank.
Terkahir, Moermahadi menyampaikan, valuasi bisnis perjanjian perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoprasian PT JICT yang dibuat Deutsche Bank diduga diarahkan untuk mendukung opsi perpanjangan dengan Hutchison Port Holding tanpa mempertimbangkan opsi pengelolaan sendiri.