Jakarta, CNN Indonesia -- Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) menjabarkan sembilan potensi kerugian jika penerapan wacana
full day school atau pemadatan jam belajar hingga delapan jam per hari direalisasikan.
Menurut Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, kerugian pertama akan diperoleh anak didik. Para siswa di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama disebut akan mendapat beban belajar yang tidak sesuai dengan umurnya.
Helmy mengatakan, hasil jajak pendapat dengan sejumlah pakar psikologi di Jawa Tengah beberapa waktu lalu menyimpulkan anak usia SD setelah jam 13.00 WIB daya serap ilmunya cenderung menurun.
"Jika kegiatan belajar mengajar ditambah maka keterserapan pendidikan pada anak tidak akan maksimal," kata Helmy dalam keterangan tertulis yang diterima
CNNIndonesia.com, Rabu (14/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kerugian kedua pada aspek pendidikan keagamaan. PBNU menilai wacana pemadatan jam belajar yang dimunculkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berpotensi mengurangi kesempatan anak didik untuk mengeyam pendidikan di pesantren atau madrasah diniyah (Madin).
Menurut Helmy, Madin di banyak daerah biasanya memulai kegiatan pada sore hari. Jika jam belajar di sekolah bertambah, siswa-siswi tak bisa lagi mengikuti kegiatan di Madin karena waktu yang berbenturan.
"Ketiga terkait aspek akademik. Aturan belajar-mengajar lima hari harus diikuti pembenahan kurikulum sekolah. Sementara mengubah kurikulum lama yang sudah secara sistematik diterapkan di sekolah tentu tidak semudah membalikkan tangan," ujarnya.
Kerugian keempat ada pada aspek kreatifitas anak didik. PBNU menilai penguatan aspek kompetensi nonakademik siswa dapat terganggu jika jam belajar ditambah tiap harinya.
Kelima, tambahan jam sekolah ditakuti akan mengurangi waktu bermain anak. Padahal, menurut Helmy, anak harus memiliki waktu bermain yang cukup untuk membangun dunia sosial dengan teman-temannya.
"Keenam, penambahan jam belajar sekolah praktiknya juga berhubungan dengan penambahan uang saku anak di sekolah. Ini tentu menambah beban finansial orang tua," katanya.
Kerugian ketujuh dipandang muncul dalam aspek keamanan. Menurut Helmy, Pemerintah harus memikirkan ulang jaminan atas keselamatan dan keamanan jiwa anak didik jika harus menempuh perjalanan pulang dari sekolah waktu sore setiap harinya.
Masalah keterbatasan sarana dan prasarana sekolah menjadi penyumbang kerugian selanjutnya. Keterbatasan ruang belajar-mengajar di beberapa SD atau SMP di daerah menyebabkan tidak mungkinnya pendidikan formal dilakukan hingga sore hari.
Terakhir, ketahanan keluarga ditakutkan akan terganggu jika jam belajar anak bertambah. Sebab, menurut Helmy, banyak anak usia sekolah dari keluarga tidak mampu yang kerap diperbantukan untuk keluarga pasca bersekolah.
"Jika anak-anak ini harus bersekolah hingga sore hari maka dua hal sekaligus membebani orang tua. Pertama, bertambahnya kebutuhan uang saku sekolah, kedua berkurangnya penghasilan lantaran berkurangnya tenaga dalam mencari nafkah," katanya.
PBNU pun mengklaim siap diajak berdiskusi dan berbicara bersama Kemdikbud untuk memperbaiki wacana pemadatan jam sekolah.