Jakarta, CNN Indonesia -- Jika bukan karena memikirkan kesehatan dan keselamatan dua putrinya yang masih belia, Kholidah (35) mungkin tidak akan pernah beranjak dari kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, sekalipun rumahnya telah rata oleh tanah.
Meski jauh dari kesan mewah, rumah kecil yang ia bangun bersama sang suami, Sukhemi (39), disebut Kholidah jauh lebih nyaman dibandingkan rumah susun (rusun) berukuran 6x6 meter persegi di kawasan Cakung, Jakarta Timur, yang ia tempati sekarang.
Faktor biaya menjadi beban utama dirinya berat menempati rumah susun tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sana (Pasar Ikan) kan kami enggak perlu
ngontrak. Kalau di sini, sudah
ngontrak, mesti bayar air dan listrik pula. Belum lagi, dua, tiga bulan terakhir, kayaknya subsidi listrik yang diberikan pemerintah di awal sudah enggak ada lagi. Biayanya jadi makin besar," kata Kholidah, kesal.
Kholidah yang lahir di Surabaya, Jawa Timur ini adalah satu dari ratusan korban penggusuran Pasar Ikan pada April 2016 lalu.
Saat itu, gubernur non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menuturkan bahwa penertiban Pasar Ikan merupakan langkah yang harus diambil oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyegerakan pembangunan tanggul raksasa.
Pembangunan tanggul laut raksasa di Pantai Utara Jakarta itu merupakan bagian dari mega proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Tujuannya untuk memperluas wilayah Jakarta dengan mereklamasi wilayah lautan, membangun tanggul raksasa penghalau banjir rob, dan mengembangkan suatu kawasan terpadu.
Namun, minimnya sosialisasi dan pemahaman yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat kerap menuai kritik. Belum lagi, kata Kholidah, tidak ada niat baik dari pemerintah untuk memberikan ganti rugi yang laik terhadap para warga.
"Enggak ada kompensasi, enggak ada kerohiman, enggak ada sama sekali. Dibongkar ya, dibongkar begitu saja," katanya.
Tidak heran, sampai hari ini, masih ada warga korban penggusuran Pasar Ikan yang memilih bertahan di atas puing-puing bekas reruntuhan rumah mereka hanya dengan beratapkan tenda. Mereka memperjuangkan hak mendapat ganti rugi yang lebih laik.
 Penggusuran yang dilakukan di Pasar Ikan pada April 2016 lalu. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Arogansi Ahok Peristiwa ini, kata Kholidah, jadi bukti arogansi seorang Ahok. Seorang Ahok, menurutnya sering kali menyepelekan dan merendahkan mereka yang hidup miskin, mereka yang selama ini hidup serba kekurangan.
"Sekarang pertanyaannya, reklamasi itu buat siapa? Buat apa? Bukannya hanya untuk bangun perumahan-perumahan mewah? Apa orang kayak kami ini nantinya sanggup beli rumah di sana? Pada akhirnya, kalangan bawah seperti kami hanya akan dikesampingkan. Dipinggirkan, seperti ke rusun ini," ucapnya.
Kondisi serupa dirasakan oleh keluarga Jajat Sudrajat (62) dan Siti Sumiarti (52).
Jajat dan Siti, yang selama lebih dari dua dekade tinggal dalam gubuk sederhana yang mereka bangun di bantaran Kali Ciliwung, kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan, harus rela memboyong tujuh anaknya untuk hidup prihatin dalam rusun sempit Rawa Bebek.
Di sana, pasangan itu harus mengeluarkan setidaknya Rp310 ribu untuk membayar sewa rusun setiap bulan, sekitar Rp150-170 ribu untuk sekurangnya 30 kubik air bersih yang digunakan untuk mandi dan mencuci, serta Rp200-250 ribu untuk mengisi token listrik, terutama setelah subsidi listrik bagi penghuni rusun tidak lagi diberikan Pemprov DKI.
Biaya-biaya tersebut sangat memberatkan. Apalagi, sehari-hari, Jajat hanyalah buruh bangunan lepas. Belakangan ini ia tak lagi menerima tawaran pekerjaan untuk proyek pembangunan skala besar lantaran alasan kesehatan di usianya yang tidak lagi muda.
Jika Jajat seorang buruh bangunan lepas, Siti adalah ibu rumah tangga yang sehari-harinya membantu menopang ekonomi keluarga dengan berjualan lauk dan pangan ringan di pekarangan lantai dasar rusun.
"Saya tahu, daerah yang saya tempati memang tanah pemerintah. Tapi kan membangun rumah itu pakai duit juga. Namanya rakyat kecil, cari duit jumlah segitu pasti setengah mati, lho. Meski diganti dengan rusun, tapi kan beban setelahnya jadi lebih berat. Bayar sewa, bayar air," keluh Siti.
"Padahal dulu kan janjinya sampai kandang ayam juga bakal dapat ganti rugi. Pak Presiden (Joko Widodo) yang dulu jadi gubernur tuh, katanya mau bangun rumah deret. Tapi enggak jadi, kami malah tetap saja digusur," timpalnya.
Pemprov Perlu Evaluasi
Ahok memang dikenal suka menggusur. Dia bahkan pernah dijuluki sebagai Gubernur Tukang Gusur.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam penelitian yang dirilis Desember 2016 mencatat ada 193 kasus penggusuran yang terjadi di Jakarta sepanjang 2016. Angka ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana hanya tercatat 113 kasus.
Dari data ini kemudian disebutkan, selama 2 tahun masa pemerintahan Ahok, jumlah korban gusuran bisa mencapai 25.533 orang, 71 persen dari jumlah tersebut mengatakan tidak menyepakati penggusuran.
Pengamat kebijakan publik Amir Hamzah menilai 'penertiban' dalam rangka memperbaiki wajah ataupun bentuk fisik Jakarta sejatinya adalah sesuatu yang lumrah.
Terlebih, sebagai ibu kota negara, Pemprov DKI bakal selalu dituntut untuk dapat menjaga tumbuh kembang kota dan mental warganya, sehingga sama ataupun setara dengan kota-kota besar lain di dunia.
Yang selalu menjadi persoalan adalah, pelaksanaan penertiban pada masa kepemimpinan Ahok sering kali dinilai tidak manusiawi. Tidak memahami apa yang sebenarnya juga dibutuhkan oleh masyarakat agar tidak sepenuhnya dinyatakan sebagai 'korban'.
"Artinya, kalau daerah kumuh mau kita ubah menjadi lebih baik, maka perubahan itu harus berjalan seirama dengan peningkatan kualitas manusianya. Terutama atas hal-hal yang menyangkut peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat serta harkat dan martabatnya," ujar Amir.
Ideal yang diucapkan Amir itu tak sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Berdasarkan penelitian LBH pada Desember 2016 silam, hanya dua persen kasus penggusuran hunian di Jakarta yang memberikan solusi yang layak bagi warga terdampak.
Sebanyak 37,5% dari 90 kasus penggusuran hunian dan enam kasus kawasan gabungan tidak memberikan solusi apapun bagi warga terdampak.
 Kampung Pulo, salah satu lokasi yang digusur oleh Ahok saat menjabat sebagai gubernur. (CNN Indonesia/Priska Sari Pratiwi) |
Solusi bagi warga terdampak juga tidak dapat diakses secara transparan karena 43,75% kasus tidak dapat diketahui informasi mengenai solusi yang diberikan bagi warga terdampak.
Beberapa orang yang digusur memang mendapat kompensasi unit rumah susun. Namun, tidak sedikit juga yang setelah digusur malah tambah sulit ekonominya.
Hasil penelitian LBH Jakarta bahkan menyatakan bahwa pemindahan ke rumah susun malah menambah masalah baru, terutama karena banyak yang kehilangan penghasilan.
Amir mengatakan, hal itu salah satunya tercermin dalam penggusuran di kawasan Muara Angke, Jakarta Barat. Selama ini publik tahu bahwa sebagian besar warga Muara Angke sudah bertahun-tahun jadi nelayan.
"Kita pun tahu bahwa nelayan itu memerlukan lahan bukan saja untuk tempat tinggal, tapi katakanlah untuk menjemur jaringnya, memarkir perahunya. Maka saat merelokasi warga dari perkampungan nelayan, pemerintah tidak bisa menyamakan
mindset-nya dengan membangun perkampungan baru untuk buruh yang hanya memerlukan transportasi murah untuk menuju tempat kerjanya," kata Amir.
Menurut Amir, hal-hal yang demikian inilah yang mestinya dipikirkan oleh Ahok sebelum melakukan kebijakan yang dikenal dengan istilah relokasi.
Tetapi nasi telah menjadi bubur. Sosoknya kadung identik dengan proyek penggusuran tak manusiawi. Ahok bahkan kini mendekam di penjara Markas Komando Brimob, Depok, Jawa Barat, sejak Mei lalu.
Mantan bupati Belitung Timur itu divonis dua tahun penjara lantaran terbukti menodakan agama. Sisa kepemimpinannya bakal dilanjutkan oleh pasangannya, Djarot Saiful Hidayat yang hari ini resmi dilantik sebagai gubernur definitif DKI Jakarta.