Menyoal Jakarta yang Tak Kunjung Hijau

CNN Indonesia
Jumat, 23 Jun 2017 07:00 WIB
Pada 1985, jumlah RTH di Jakarta masih di angka 25,85 persen sementara pada 2010 turun drastis ke angka 9 persen. Jakarta tak kunjung hijau.
Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki 9,98 persen Ruang Terbuka Hijau, sementara aturan menyaratkan setidaknya memiliki 30 persen. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ibu kota masih identik dengan kota yang pembangunan fisiknya tumbuh pesat. Kota dengan gedung-gedung pencakar langit berjejer di sepanjang jalanan mulus beraspal, sementara kendaraan berseliweran tanpa henti setiap harinya.

Namun konsep itu perlahan ditinggalkan kota besar di negara-negara maju dunia. Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, kota-kota yang selama ini mendapat predikat kota layak huni justru adalah kota yang pemerintah maupun masyarakatnya punya komitmen tinggi untuk menjaga keberadaan ruang terbuka hijau (RTH). Misalnya saja Melbourne, Australia.

Angka ruang terbuka hijau di Melbourne, yang selama enam tahun berturut-turut sejak 2010 mendapat peringkat pertama sebagai kota paling layak huni oleh lembaga analisa Economist Intelligence Unit (EIU), sudah menembus angka 56 persen dari jumlah total wilayah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena terbukti, kota-kota yang memiliki banyak RTH, masyarakatnya justru lebih sehat dan produktif. Otomatis tingkat perkembangan kota secara keseluruhan jadi jauh lebih baik," kata Joga.

Jakarta punya cerita berbeda.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa jumlah RTH kota seharusnya minimal 30 persen dari luas wilayah kota tersebut.
 
Sementara di Jakarta, luas RTH terus menurun semenjak hadirnya bangunan-bangunan pencakar langit dan pusat perbelanjaan. Belum lagi, dalam kurun waktu dua dekade terakhir, frekuensi kemunculan permukiman liar di sejumlah wilayah yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk lahan hunian semakin tinggi.
Senayan Golf adalah salah satu area yang akan diubah Pemprov DKI Jakarta menjadi RTH. Senayan Golf adalah salah satu area yang akan diubah Pemprov DKI Jakarta menjadi RTH. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Berdasarkan data yang CNNIndonesia.com himpun, pada 1985 jumlah RTH di Jakarta masih pada angka 25,85 persen. Dua puluh lima tahun kemudian, jumlahnya turun drastis menjadi 9 persen.

Dalam kondisi kritis seperti itu, tak banyak yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI. Pada 2017, menurut data Dinas Kehutanan, Pertamanan & Pemakaman DKI Jakarta, jumlah RTH hanya bertambah hingga ke angka 9,98 persen. Artinya hanya ada pertambahan kurang dari satu persen dalam tujuh tahun terakhir.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan, Pertamanan & Pemakaman DKI Jakarta, Djafar Muchlisin, salah satu kendala utama pengadaan RTH di Jakarta dewasa ini adalah perkara pembebasan lahan. Meski banyak warga yang bersedia menjual lahan mereka kepada Pemprov DKI, tapi hanya sedikit yang memiliki kejelasan legalitas hukum.

"Biasanya setelah kami lakukan penelitian secara administratif ke lapangan, bermunculan pihak-pihak yang bilang bahwa tanah tersebut merupakan tanah sengketa, atau terjadi perebutan antar keluarga. Sementara penyelesaian sengketa tanah itu kan butuh waktu. Daripada kemudian kami dikomplain, maka sering kali kami putuskan untuk tidak dibebaskan dulu," kata Djafar.

Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2015 menyebutkan, sebanyak 35 bidang tanah milik Pemprov DKI Jakarta seluas 1,5 juta hektar, senilai Rp7,97 triliun, tengah digugat pihak ketiga melalui pengadilan dengan berbagai alasan. Data ini belum termasuk fakta bahwa pemerintah Jakarta ternyata tak memegang dasar hukum atau sertifikat atas aset tanah seluas 17,4 hektar senilai Rp98,88 triliun.
Kawasan Kalijodo sejatinya diubah menjadi RTH tapi saat ini menjadi RPTRA yang fungsinya lebih ke faktor sosial. Kawasan Kalijodo sejatinya diubah menjadi RTH tapi saat ini menjadi RPTRA yang fungsinya lebih ke faktor sosial. (CNN Indonesia/Safir Makki)
RPTRA Bukan RTH

Anggota Dewan Eksekutif Kemitraan Habitat, Nirwono Joga menilai, kendala terbesar dalam pengadaan RTH di Jakarta sebenarnya adalah komitmen dan konsistensi Pemprov DKI terhadap aturan yang telah mereka tetapkan. Terlebih, ia melihat, keberadaan RTH belum dianggap sebagai bagian penting dari sebuah kota, seperti misalnya di Melbourne.

Belum seriusnya pihak Pemprov terkait pengadaan RTH ini yang kemudian, menurut Joga, menyebabkan pelanggaran sering terjadi. Seperti salah satunya, pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di kawasan eks lokalisasi Kalijodo.

Dalam Peraturan Daerah Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi, kawasan eks Kalijodo masuk dalam kategori H.4 atau jalur hijau.

"Artinya, di Kalijodo tidak boleh ada perkerasan sama sekali. Apalagi sampai ada bangunan," kata Joga.

Hal ini, lanjut Joga, membuktikan bahwa pemahaman Pemprov DKI terkait fungsi RTH yang sesungguhnya belum memadai.

Ia berpendapat, tujuan utama RPTRA adalah fungsi sosial yaitu sebagai ruang publik agar warga di sekitar, terutama anak-anak dan ibunya, dapat berkegiatan bersama.

"Maka dari itu diwadahi dengan adanya klinik, raung laktasi, perpustakaan, tempat bermain dan sebagainya," ujar dia.

Selain itu, 70 persen lahan di satu kapling RPTRA mengalami pengerasan. Sementara untuk dinyatakan sebagai zona hijau, sarat minimal pengerasan di kawasan tersebut tidak boleh lebih dari 30 persen. Ini agar fungsi utama sebagai sumber produksi oksigen dan kawasan resapan air untuk meredam banjir, dapat dioptimalkan.

"Biarpun benang merahnya sama, yaitu sama-sama sebagai ruang publik, tetapi secara fungsi RPTRA dan RTH itu jelas beda sekali. Sehingga menurut saya, penambahan 180 RPTRA dalam kurun waktu dua tahun ini tidak bisa dikatakan sama dengan penambahan RTH," kata Joga.
Di Kalijodo 70 persen area yang mengalami perkerasan. Sementara RTH mewajibkan tidak lebih dari 30 persen area mengalami perkerasan. Di Kalijodo 70 persen area yang mengalami perkerasan. Sementara RTH mewajibkan tidak lebih dari 30 persen area mengalami perkerasan. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Tidak Melulu Pembebasan Lahan
   
Jugo menuturkan, jika Pemprov DKI serius dan punya komitmen untuk menambah pengadaan RTH di Jakarta, idealnya dalam setahun Pemprov DKI dapat mengusahakan pembebasan lahan minimal seluas 250 hektar. Tapi kenyataannya, selama 17 tahun terakhir, kemampuan Pemprov DKI guna pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan RTH tidak lebih dari 25 hektar, atau maksimal 50 hektar per tahunnya.

"Sementara untuk memenuhi target minimal 30 persen, saya mencatat sebenarnya Jakarta masih punya potensi untuk membangun RTH publik sebesar 14 persen, dan 16 persen untuk RTH private," katanya.

Oleh karena itu, ujarnya, selain pembebasan lahan, Pemprov DKI perlu memikirkan upaya lain untuk memaksimalkan penambahan RTH.

"Penambahan RTH tidak harus beli lahan. Jakarta punya 44 waduk dan 14 situ (danau). Kalau kawasan itu diubah seperti Taman Waduk Pluit saja, waduknya dikeruk, dirapikan, dibebaskan permukiman di sekitarnya, kemudian dijadikan taman, coba bayangkan berapa RTH yang bisa ditambahkan? Harusnya bisa di-breakdown, satu tahun ada berapa waduk yang bisa dijadikan taman?" kata Jugo.

Jugo juga mengkritisi betonisasi yang dilakukan Pemprov DKI dalam rangka proyek normalisasi sungai. Langkah betonisasi kawasan bantaran kali, menurut Jugo, sebenarnya pernah dilakukan oleh kota-kota besar di Eropa pada 1980-an. Namun sepuluh tahun kemudian, pengerjaan tersebut justru dibongkar kembali.

"Karena begitu dibeton, aliran sungai menjadi semakin cepat. Pengendapan lumpur juga terjadi makin cepat, dan yang tidak kalah penting, adalah matinya ekosistem bantaran sungai. Begitu ekosistem tepi sungai mati, maka dalam waktu dekat akan terjadi ledakan penyakit lingkungan, seperti diare dan demam berdarah," ujarnya.

Menurut dia, yang harusnya dilakukan Pemprov DKI adalah naturalisasi, bukan normalisasi. Artinya, setelah bangunan kiri dan kanan bantaran sungai dibebaskan, kawasan tersebut 'diselesaikan' dengan cara yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu caranya adalah lewat rekayasa lereng sungai dengan teknik bioenginering. Seperti, menanami bagian lereng sungai dengan tanaman khusus, untuk mengindari erosi. Kemudian membuat jalur hijau untuk penanaman pohon atau juga jalur sepeda. Dengan demikian, pemprov DKI juga dapat menambah jumlah RTH.

"Padahal saat menggusur warga Bukit Duri, selain normalisasi, salah satu alasan Pemprov adalah mengembalikan fungsi jalur hijau di bantaran kali. Tapi pada saat yang sama, Pemprov sendiri yang melanggar Rencana Detail Tata Ruang," kata dia.  
RPTRA Kalijodo lebih berfungsi sosial yaitu sebagai ruang publik agar warga di sekitar, terutama anak-anak dan ibunya, dapat berkegiatan bersama.RPTRA Kalijodo lebih berfungsi sosial yaitu sebagai ruang publik agar warga di sekitar, terutama anak-anak dan ibunya, dapat berkegiatan bersama.(CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari)

Harapan di Pemerintahan Berikutnya

Jugo pribadi mengaku kecewa pemerintah kurang berkomitmen mewujudkan lebih banyak RTH bagi masyarakat ibu kota. Pada akhirnya, kata dia, relokasi yang selama ini sering kali dilakukan atas alasan pembebasan lahan jadi sia-sia belaka. Karena tidak berdampak spesifik terhadap target minimal pengadaan RTH bagi sebuah kota yang dikatakan layak huni.

"Pengadaan RTH justru dianggap komoditas politik, tetapi tidak pernah disadari dengan benar fungsi dasar dari sebuah RTH tersebut," katanya.

Padahal fungsi RTH, kata Jugo, tidak hanya sebagai kawasan resapan air dan penanggulangan banjir, tapi juga besar kaitannya dengan mengurangi penurunan muka tanah.

"Anehnya, saat ini Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat lebih gencar menyelesaikan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) RPTRA. Sementara Raperda RTH sudah kami usulkan sejak 15 tahun yang lalu, tapi sampai hari ini belum ada kelanjutan dari pemerintah. Lucu, padahal setiap banjir yang diobrolkan selalu kurang RTH," ujar Jugo.
 
Aktivis dan pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya, yang tak lain adalah anggota tim sinkronisasi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, mengaku pesimistis target 30 persen tersebut dapat dicapai dalam lima tahun.

Namun yang pasti, pihaknya sepakat bahwa RPTRA bukanlah RTH. Sebuah ruang terbuka hijau, ujar Marco, harusnya betul-betul mempunyai fungsi ekologis. Tidak boleh ditutupi bangunan maupun perkerasan, maupun tempat berinteraksi sosial.

"Saya rasa itu yang harus ditekankan lagi. Bukan hanya menambah luasnya, tapi juga meningkatkan fungsinya. Biar sedikit, tapi optimal," ujarnya beberapa waktu lalu.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER