Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi meminta pegawai negeri dan penyelenggara negara di seluruh Indonesia agar tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun yang diberikan terkait jabatannya menjelang Hari Raya Idul Fitri 1438 Hijriah.
KPK mafhum, masyarakat selama berlebaran punya tradisi saling memberi uang, bingkisan makanan, serta fasilitas atau bentuk pemberian lainnya. Namun KPK mengingatkan, semua pemberian itu harus ditolak dan dikembalikan jika berkaitan dengan jabatan.
"Harap pegawai negeri atau penyelenggara negara berhati-hati dengan kepentingan lain yang potensial menumpangi tradisi mulia saling memberi yang ada di masyarakat dan adat istiadat kita,” kata Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono lewat keterangan tertulis, Kamis (22/6).
Giri mengingatkan, bila hadiah tersebut terpaksa diterima, lantaran dikirim langsung ke rumah, kantor atau ditransfer masuk ke rekening pribadi, maka hadiah tersebut harus segera dilaporkan ke Direktorat Gratifikasi KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak tanggal diterima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Laporkan setiap hadiah yang berkaitan dengan jabatan," tutur Giri.
Berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Gratifikasi KPK, laporan mengenai penerimaan hadiah pejabat negara menjelang lebaran dalam dua tahun terakhir terus mengalami peningkatan.
Pada 2015 terdapat 94 laporan penerimaan gratifikasi terkait lebaran, yang terdiri dari bingkisan berupa makanan-minuman, voucher belanja, perabotan rumah tangga, bahan kain dan barang elektronik, yang totalnya mencapai Rp35,8 juta.
Sementara pada 2016, terdapat 371 laporan penerimaan gratifikasi terkait lebaran terdiri atas uang tunai, parsel makanan-minuman, voucher belanja, laptop, sarung, kristal dan lain sebagainya, dengan total Rp1,1 miliar.
Giri melanjutkan, nilai pelaporan gratifikasi secara umum yang masuk ke KPK mulai Januari–Mei 2017 telah mencapai Rp108,3 miliar. Menurut dia, jumlah tersebut adalah yang tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.
KPK mencatat pada 2016 nilai laporan gratifikasi mencapai Rp14,5 miliar. Kemudian 2015 mencapai Rp7,3 miliar. Sementara itu pada 2014 Rp3,6 miliar dan 2013 nilainya mencapai Rp1,9 miliar.
"Kami hanya menerima laporan sepanjang belum masuk perkara pidana. Jika yang dilaporkan itu sudah dalam proses pengusutan, kami tolak,” ujar Giri.