Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menangis di hadapan majelis hakim saat sidang pembacaan pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (6/7).
Atut dituntut delapan tahun penjara terkait kasus dugaan korupsi dan suap pengadaan alat kesehatan (alkes) Provinsi Banten pada 2012. Ia memohon pada majelis hakim agar menjatuhkan vonis seadil-adilnya.
"Saya mohon dengan sangat keputusan saya yang dianggap melakukan kesalahan mohon diputus seadil-adilnya," ujar Atut sambil menangis terisak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atut mengaku khilaf dan menyebut bahwa tindak pidana korupsi itu bukan inisiatifnya. Ia juga beralasan masih mempunyai tanggung jawab pada keluarga, terutama anak perempuannya.
Selain perkara korupsi pengadaan alkes, Atut juga memohon agar majelis hakim mempertimbangkan masa hukuman tujuh tahun penjara yang kini ia jalani. Hukuman ini terkait kasus suap sengketa pilkada pada mantan Ketua MK Akil Mochtar.
"Sekali lagi saya mohon keadilannya bagi diri saya. Sekarang saya sedang menjalani hukuman selama tujuh tahun," ucapnya.
Sementara itu tim kuasa hukum Atut memohon pada majelis hakim agar membebaskan kliennya. Menurut salah satu anggota tim kuasa hukum, TB Sukatma, dari fakta persidangan tidak ditemukan perbuatan tercela yang menunjukkan keterlibatan Atut dalam kasus tersebut.
"Kami memohon agar majelis hakim memutuskan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan," tuturnya.
Sukatma mengatakan, Atut telah mengembalikan uang sebesar Rp3,8 miliar terkait pengadaan alkes. Pihaknya berharap majelis hakim mempertimbangkan hal tersebut untuk meringankan hukuman.
"Pengembalian uang selama proses penyidikan harus dianggap sebagai iktikad baik terdakwa dan mohon dapat dipertimbangkan untuk meringankan hukuman," ucap Sukatma.
Dalam perkara ini, Atut diduga menerima suap dan melakukan pemerasan terkait pengadaan alkes tersebut. Untuk pengadaan alkes di tingkat provinsi, pengguna anggaran harusnya menjadi kewenangan kepala dinas kesehatan.
Namun dalam kasus ini Atut justru memberikannya pada jajaran di bawah kepala dinas. KPK menduga ada aliran dana ke Atut sebagai imbalan atas proses pengadaan yang tak sesuai prosedur.