Jakarta, CNN Indonesia -- Komikus Muhadkly Acho mungkin tidak menyangka bahwa curhatan di blog pribadinya terancam berujung di meja hijau.
Kasus Acho bermula pada 8 Maret 2015 silam. Saat itu, Acho menulis kekecewaannya di blog pribadinya,
muhadkly.com, terkait fasilitas Apartemen Green Pramuka di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Dalam blog tersebut, Acho menagih janji pengelola yang menyebut akan menjadikan area apartemen sebagai ruang terbuka hijau. Ia merasa pengembang tidak konsisten dengan janji yang dilontarkan kepadanya saat membeli apartemen itu pada tahun 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dianggap merusak reputasi perusahaan, Acho dilaporkan oleh Danang Surya Winata selaku kuasa hukum pengembang Apartemen Green Pramuka, PT Duta Paramindo Sejahtera atas tuduhan pencemaran nama baik, mengacu pada pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pada Senin (7/8), berkas lengkap kasus Acho akan dilimpahkan dari pihak penyidik ke Kejaksaan. “Saya akan mengajukan permohonan tak ditahan dan izin untuk kerja," kata dia, kemarin.
Sebelumnya, UU ITE pernah menyerang Prita Mulyasari.
Pada 2009, Ibu dua anak ini harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang akibat surat elektroniknya yang berisi kritik terhadap pelayanan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam Sutera tersebar di internet.
Kasus Wahyu Dwi Pranata pun patut diingat. Pada tahun 2013, mahasiswa jurusan Teknik Elektro Universitas Dian Nuswantoro Semarang itu dipaksa mengundurkan diri oleh kampusnya atau diancam dijerat pasal pencemaran nama baik UU ITE.
Pihak kampus menilai Wahyu terlalu kritis mengomentari kebijakan kampus melalui tulisannya di blog dan kanal Kompasiana.
Ketiganya adalah segelintir contoh dari puluhan kasus yang menimpa para 'korban' UU ITE lainnya sejak disahkan pada tahun 2008.
Adapun beleid Pasal 27 ayat (3) menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pengamat komunikasi digital Firman Kurniawan turut menyatakan bahwa kriminalisasi terhadap 'korban' UU ITE kerap menggunakan pasal pencemaran nama baik.
 Ilustrasi Green Pramuka. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari) |
Senjata untuk MenindasPasal itu diandalkan sebagai senjata bagi para pihak yang merasa reputasinya terancam untuk melawan balik para pemuka pendapat di dunia maya. "Sehingga, pasal itu menjadi alat pihak tertentu untuk menindas orang lain," ujar Firman kepada CNNIndonesia.com, Minggu (6/8).
Jika diperhatikan, sebagian besar 'korban' UU ITE tersebut memang diserang karena menyampaikan pendapatnya di ruang publik era internet, seperti blog dan media sosial.
Makna ruang publik untuk masyarakat saling berdiskusi dan beropini, negara demokrasi pun dipertanyakan.
Mengacu pada filsuf dan sosiolog asal Jerman Jurgen Habermas,
public sphere atau ruang publik adalah ruang yang memungkinkan setiap orang menyampaikan keinginannya, bebas dari intimidasi. Diibaratkan sebuah kafe, semua orang - yang juga sama-sama membayar - bisa menikmati kafe dengan cara masing-masing.
Meski begitu, dikatakan Firman, konsep ruang publik yang ideal seperti yang dicetuskan Habermas memang sulit diterapkan di Indonesia.
Demi menghindari ancaman UU ITE, Firman menganjurkan bahwa berbicara di ruang publik jangan sampai mengganggu orang lain, pun sebaliknya.
"Setiap manusia punya keinginan dan pemikiran, tapi batasnya adalah ketika kebebasan berbicara itu melanggar kebebasan orang lain, dia harus berhenti disitu," kata Firman.
Adapun batasan kebebasan berbicara yang dimaksud Firman adalah perkataan yang tidak menganggu kenyamanan orang lain. Meski demikian, batasan tersebut bersifat relatif sehingga hanya bisa dipahami dengan penalaran etika.
"Memang sulit menentukan standar ketika batasan itu dirumuskan. Mestinya, aturannya adalah etika, sesuatu yang tidak bisa dirumuskan dalam hukum karena standarnya relatif," katanya.
Didukung FaktaMengemukakan pendapat berlandaskan etika, dikatakan Firman, berarti memikirkan kembali apakah tulisan yang ditulis dapat menyinggung pihak lain.
Firman juga menegaskan bahwa setiap opini harus didukung oleh fakta dan data yang ada, serta bisa dipertanggungjawabkan kebenaran. Hal ini demi terhindari dari jeratan pasal pencemaran nama baik, termasuk, ketika seorang konsumen ingin berpendapat soal suatu produk atau perusahaan.
"'Pencemaran nama baik' adalah kalau kita menuduh tanpa ada bukti, termasuk pengejekan yang tidak sesuai fakta," kata dia.
Terkait kasus Acho dan Prita, Firman menyimpulkan, pasal pencemaran nama baik dapat membatasi hak-hak konsumen yang ingin mengungkapkan pendapatnya terhadap suatu produk maupun perusahaan atau pelayan masyarakat, misal pemerintah dan rumah sakit.
Sebab, tidak ada jaminan bahwa ungkapannya akan tersebar atau tidak. Itu sebabnya, Firman mempersoalkan budaya sebagaian besar masyarakat Indonesia yang tidak suka menerima kritik.
"Kritik dianggap mencederai pribadi. Padahal yang dikritik perbuatannya, bukan personalnya," ujarnya.
Terpisah, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi sebelumnya menuturkan apa yang dilakukan Acho dilindungi oleh undang-unang. "Apa yang dilakukan konsumen (Acho) sudah sesuai haknya yang diatur oleh UU Perlindungan Konsumen, yang penting yang disampaikan konsumen fakta hukumnya sudah jelas, bukan fiktif," katanya.
Tulus berpendapat, langkah pengembang apartemen melaporkan Acho, berlebihan dan menunjukkan sikap arogan. Selain itu, menurutnya, langkah tersebut merupakan bentuk pembungkaman konsumen dalam memperjuangkan haknya.