Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo atau Jokowi menginstruksikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian segera mengusut kasus teror penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan daripada merealisasikan desakan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF).
Pilihan itu diambil Jokowi usai bertemu Tito di Istana Presiden, Senin pekan lalu.
Desakan pembentukan TGPF dalam pengungkapan kasus teror Novel disuarakan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK. Mereka kecewa dengan perkembangan proses penyidikan kepolisian yang terkesan berjalan di tempat selama empat bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK juga menduga penanganan kasus Novel tersumbat lantaran ada banyaknya kepentingan di tubuh Polri yang memengaruhi laju pengungkapan kasus Novel.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi menganalisa, ada tiga alasan Jokowi memilih memerintahkan Tito segera mengusut kasus teror Novel daripada membentuk TGPF.
Pertama, menurutnya, TGPF merupakan tim di luar struktur lembaga atau institusi yang tidak memiliki pertanggungjawaban secara moral dan etik. Dia berpendapat, Jokowi ingin memberdayakan institusi Polri dan KPK agar menjadi institusi yang lebih bertanggung jawab.
Oleh karena itu, lanjut dia, Tito lebih memilih membentuk tim gabungan investigasi bersama KPK untuk mengusut kasus teror Novel.
"Saya kira, langkah Presiden itu sudah cukup baik dengan membebankan hal itu kepada Polri dan KPK. Tim gabungan investigasi punya pertanggungjawaban terstruktur dibanding TGPF. Ini penting untuk buat lembaga-lembaga yang ada berdaya, punya tanggung jawab secara moral, etik, dan struktural," kata Muradi saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, Senin (7/8).
Kedua, menurut Muradi, Jokowi ingin agar setiap institusi, baik Polri dan KPK, memiliki tanggung jawab pada setiap tindakan yang dilakukan anggotanya.
Dosen di jurusan Ilmu Pemerintahan Unpad ini mengatakan, Jokowi berharap langkah ini akan mendorong Tito untuk segera menyikapi pernyataan Novel terkait dugaan keterlibatan oknum jenderal kepolisian. Ia mengatakan, Tito harus segera membuka fakta yang sesungguhnya terkait pernyataan yang disampaikan Novel ini.
Sementara itu, di sisi lain, Jokowi juga ingin meminta pertanggungjawaban Ketua KPK Agus Rahardjo atas sikap Novel sebagai penyidik KPK selama ini. Muradi menilai, sikap Novel selama ini yang sering berbicara di media massa telah melanggar azas sebagai penyidik KPK dan turut menjadi penyebab insiden teror penyiraman air keras terhadap dirinya.
 Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari Kapolri Jenderal Tito Karnavian melaporkan perkembangan kasus Novel Baswedan ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi. |
Menurut dia, pertanggungjawaban ini tidak dapat diberikan kepada Polri dan KPK lewat pembentukan TGPF. Dia pun menilai, proses pengusutan kasus Novel juga harus membuka motif di balik aksi teror, bukan sebatas menemukan pelaku.
"Ini menyangkut soal membangun persepsi publik, pertanggungjawaban setiap perilaku salah itu harus menjadi beban dan tanggung jawab yang ada. Katakan tuduhan Novel soal keterlibatan oknum jenderal, yang terlibat dalam kasusnya itu baru tahapan asumsi yang harus dalam pembuktian," kata dia.
"Saya kira itu menjadi hal penting," ucapnya.
Terakhir, dia menilai, langkah ini ditempuh Jokowi untuk menjaga marwah Polri dan KPK. Menurutnya, setiap institusi harus diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri atas kesalahan yang telah dilakukan. Menurutnya, langkah Jokowi ini merupakan bagian dari pengembangan dan penguatan institusi.
"Kalau ada TGPF itu akan meluas dan substansinya (pengembangan dan pengutan institusi) tidak dapat," katanya.
Pembentukan TGPFTGPF sebenaranya bukan barang baru di Indonesia. Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah membentuk sejumlah TGPF di era kepemimpinannya untuk mengusut kasus yang mendapatkan perhatian publik dan proses penyelidikannya berlarut-larut.
Sejumlah TGPF yang pernah dibentuk SBY antara lain terkait kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib serta kasus dua mantan komisioner KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah yang diduga menyalahgunakan wewenang dan melakukan pemerasan saat mencekal tersangka korupsi Anggoro Widjoyo.
Namun, berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com, berbagai rekomendasi yang dilahirkan TGPF ini tak pernah dijalankan. Bahkan, aksi saling lempar terkait keberadaan rekomendasi TGPF kasus pembunuhan Munir terjadi antara jajaran menteri SBY dan Jokowi pada 2016 silam.
Muradi menilai, hal itu terjadi karena pembentukan TGPF tidak bersifat mengikat pada proses penyidikan kasus tertentu. Menurut dia, rekomendasi yang dikeluarkan TGPF hanya diketahui Presiden untuk ditindaklanjuti lebih jauh.
"Kita juga punya pengalaman bagaimana dengan pembentukan TGPF, sampai hari ini tidak jelas rekomendasi seperti apa. Misalnya kasus Trisakti, kasus Semanggi, dan kasus Munir tidak jelas. Karena tidak mengikat ke dalam," ujarnya.
Bantu Polri dan KPKNamun demikian, pendiri lembaga advokasi hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar, berpendapat Jokowi tetap perlu membentuk TGPF dalam pengusutan kasus teror Novel. Menurutnya, TGPF akan memberikan rekomendasi yang membantu Polri dan KPK dalam melakukan penyidikan.
"Perlu. Laporan TGPF bisa jadi rujukan Presiden untuk meminta polisi melakukan investigasi atau mendalami peristiwa-peristiwa penting yang perlu ditindaklanjuti dalam penyidikan oleh polisi," katanya.
Haris menilai, pembentukan TGPF juga penting untuk membangun kepercayaan bagi Novel dalam memberikan informasi seputar kasus teror yang menimpanya. Menurut dia, Novel tidak akan memberikan informasi selama kasus ini masih ditangani Polri, tanpa pembentukan TGPF.
"Ini soal
trust, kepercayaan. Kalau hanya polisi sendiri yang tahu masalah ini, kayaknya Novel tidak mau kasih informasi," ucapnya.
Sebelumnya, pihak Istana Negara memberi respon soal penanganan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Pembentukan TGF didesak sejumlah pihak karena dianggap lebih efektif mengungkap kasus penyiraman air keras itu.
"Sekarang belum ada kesimpulan, belum ada rencana membentuk TGPF atau tidak," ujar Juru Bicara Presiden Johan Budi ketika dikonfirmasi, Jumat (4/8).
(djm/djm)