Jakarta, CNN Indonesia -- Siang itu kerusuhan pecah di areal perusahaan PT Putera Dewa Paniai di kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Papua, Selasa (1/8). Bentrok dipicu oleh kematian seorang pemuda Papua dalam perjalanan ke rumah sakit akibat tenggelam di sungai.
Teman-teman si pemuda sempat meminta karyawan perusahaan PT Putera Dewa Paniai agar meminjamkan mobil kantor untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Namun permintaan ditolak oleh para karyawan karena enggan disalahkan jika si pemuda meninggal dalam perjalanan.
Puluhan warga lantas meradang dan merangsek ke kompleks perusahaan. Di sana mereka menghancurkan beberapa properti perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Polisi kontan bergerak. Aparat melepaskan tembakan ke arah kerumunan massa. Tembakan itu menewaskan seorang warga bernama Yulianus Pigai. Timah panas bersarang di paha dan perutnya. Tembakan yang dilepas polisi juga melukai setidaknya sepuluh orang lainnya.
Apa yang terjadi di Deiyai tersebut dinilai berbagai lembaga pengawas dan pelindung hak asasi masnusia sebagai bentuk pelanggaran HAM. Aparat bersenjata dianggap sewenang-wenang menindak warga.
Kejadian Deiyai belakangan jadi pemantik yang mengingatkan publik pada sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya di Papua, antara lain Peristiwa Wasior 2001 dan Peristiwa Wamena 2003 yang keduanya disebut sebagai pelanggaran HAM berat.
 Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah |
Pada 2001, terduga aparat Brimob Polda Papua menyerbu warga Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua. Penyerbuan itu dipicu oleh terbunuhnya lima anggota Brimob dan satu orang sipil di perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa (VPP).
Saat pengejaran pelaku, terjadi kekerasan terhadap penduduk sipil yang dicurigai sebagai pelakunya. Mereka dibawa ke Polsek setempat dan disiksa. Mereka juga ditahan tanpa surat penahanan.
Sedangkan peristiwa Wamena bermula dari pembobolan gudang senjata di markas Kodim / 1702, Wamena oleh orang tak dikenal. Pembobolan itu terjadi pukul 01.00 WITA pada 4 April 2003. Menurut keterangan saksi pembobol berhasil membawa lari 29 pucuk senjata dan 3500 peluru.
Dalam peristiwa itu, terjadi kontak senjata yang menyebabkan dua anggota TNI (Kodim) dan satu orang meninggal dunia.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, belasan tahun berlalu, nasib para korban hingga kini terkatung-katung tanpa ada kepastian hukum terhadap peristiwa tersebut.
Kondisi itu dianggap mempertebal ketidakpercayaan korban, khususnya warga Papua, terhadap pemerintah.
Saat mencalonkan diri sebagai Presiden periode 2014-2019, Joko Widodo berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM terdahulu, termasuk yang pernah terjadi di Papua.
Ia juga berjanji mengusut bentrokan antara warga dengan aparat keamanan di Paniai, Papua yang menewaskan empat warga tertembak pada Desember 2014 lalu.
Janji tinggal janji. Direktur Eksekutif Amensty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai hingga kini belum ada langkah konkret yang ditunjukkan pemerintah untuk menuntaskan dugaan pelanggaran HAM di Papua.
Jokowi, kata Usman, terlihat mengesampingkan kasus pelanggaran HAM di Papua dengan menunjukkan berita-berita soal kemajuan infrastruktur Papua.
"Itu juga masalahnya. Jokowi seperti terlalu terobsesi dengan infrastruktur tanpa benar-benar mau menerima bahwa absennya keadilan atas penyelesaian kasus-kasus HAM adalah yang utama," katanya kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Kritik terhadap Pemerintah yang terlalu fokus pada pembangunan ekonomi ketimbang penyelesaian kasus HAM di Papua turut disampaikan Biro Kampanye dan Jaringan KontraS Nisrina Nadhifah.
"Seringkali kita dengar Pak Jokowi dan jajaran Pemerintahan mengatakan 'yang penting pembangunan dulu di Papua'. Tapi, tidak ada ruang uji yang dapat membuktikan apakah pembangunan infrastruktur tersebut benar-benar yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua," kata Nisrina.
 Presiden Joko Widodo dan rombongan saat meninjau proyek jalur TransPapua. (Dok. Biro Pers Setpres) |
Sejak menjabat sebagai Presiden, Jokowi memang gencar membangun perekonomian Papua.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, pemerintah pusat dan Pemda Papua harus mampu menggerakkan perekonomian di pulau paling timur Indonesia tersebut.
Indikator upaya penggerakkan perekonomian itu adalah melalui percepatan pembangunan infrastruktur, serta perhubungan seperti bandar udara, pelabuhan, dan jalan.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, alokasi anggaran untuk Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) pada tahun 2017 mencapai Rp 7,6 triliun.
Untuk memublikasikan laporan pencapaian dua tahun (2014-2016) pemerintahan Jokowi-JK kepada rakyat, kantor Staf Presiden Republik Indonesia pun mengelola sebuah situs dengan alamat https://kerjanyata.id.
Dalam situs Kerjanyata, dipaparkan pembangunan ekonomi yang sudah dilakukan Pemerintah untuk menyejahterahkan Papua, antara lain peningkatan pasar tradisional yang tadinya hanya tiga unit pada tahun 2014 menjadi 25 unit pada tahun 2016.
Tak ketinggalan, pembangunan lebih dari 4.000 kilometer jalan baru di Papua, tiga terminal baru bandara, tiga kapal Feri baru dan enam infrastruktur listrik baru di Papua dan Papua Barat juga dipaparkan.
Pada laman yang sama, disebutkan pula Pemerintah telah membentuk tim khusus untuk menyelesaikan kasus HAM di Papua.
Namun demikian, tidak dijelaskan tim khusus apa dan bagaimana yang dimaksud.
Usman menilai pembangunan investasi yang sedang digenjot pemerintah lebih condong menguntungkan para investor ketimbang masyarakat Papua.
"Pembangunan Infrastruktur lebih ditujukan bagi keperluan investasi ketimbang benar-benar untuk keperluan orang Papua, hingga absennya keadilan bagi orang-orang Papua yang mendapatkan perlakuan kekerasan atau pemiskinan struktural," katanya.
Di luar usaha memajukan ekonomi Papua, keseriusan Pemerintah untuk menjaga dan melindungi hak hidup warga Papua kembali dipertanyakan.
"Kita tidak pernah mendapat gambaran yang komprehensif dari Pemerintah tentang rencana untuk membangun Papua atau menjadikan Papua sama pentingnya dengan Jawa itu seperti apa," kata Nisrina.
Usman menilai, Jokowi telah memahami bakal ada resistensi dari kalangan militer atau kepolisian apabila Pemerintah menuntut para pelaku pelanggaran HAM yang kebanyakan berasal dari dua institusi itu.
"Pemahaman itu sayangnya tidak diikuti oleh kepercayaan diri sebagai Presiden maupun kepala negara yang memiliki kuasa penuh pada dua institusi itu," kata Usman.
 Presiden Joko Widodo berpidato setelah memberikan grasi kepada lima tahanan politik (bagian belakang) di Lapas Abepura, Jayapura, Papua, Sabtu (9/5). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Menurut Usman, dugaan penggunaan kekuatan yang semena-mena atau disalahgunakan oleh aparat kepolisian dan/atau aparat keamanan lainnya saat bertugas patut diinvestigasi melalui mekanisme yang independen dan imparsial.
"Seluruh perangkat teknis dan prosedural telah ada dan nyaris lengkap, mulai dari Peraturan Kapolri mengenai penanganan demonstrasi hingga aturan penggunaan kekuatan dan senjata api. Namun, di lapangan masih kerap ditemukan penyimpangan," ujarnya.
Di luar itu semua, kata Usman, sumber masalah kekerasan di Papua juga tak bisa dipisahkan dari kebijakan Pemerintah yang lebih luas, sehingga menciptakan situasi sosial tak kondusif.
"Misalnya, migrasi yang tidak terkontrol, ekspansi bisnis perkebunan sawit yang banyak menguasai lahan-lahan adat, penggunaan dan pengerahan militer yang berlebihan," katanya.
Itu sebabnya, Usman menegaskan, diperlukan aparat-aparat negara yang berkepala dingin untuk mengatasi permasalahan Papua. Aparat haruslah benar-benar profesional lengkap dengan kemampuan persuasi mumpuni.