Jakarta, CNN Indonesia -- Mobil yang membawa Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto tiba di depan kantor HTI di Crown Palace, Tebet, Jakarta Selatan, pada awal bulan ini. Ia didampingi oleh tiga orang ketika turun dari mobil dan langsung menyapa Tim
CNNIndonesia.com.
Ismail langsung mengajak masuk ke dalam kantornya. Dia bepesan untuk tidak memotret bagian dalam kantor HTI. Kantor HTI tampak sepi pasca-dicabutnya SK badan hukum organisasi tersebut. Tulisan HTI di depan kantor, ditutup kain hitam.
Ismail pun langsung mengajak ke sebuah ruangan guna melakukan wawancara. Dia mulai bercerita tentang konsep Khilafah yang mereka usung untuk ditegakkan. Dia juga menjawab tudingan soal anti-Pancasila.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
HTI dibubarkan pemerintah karena dianggap bertentangan dengan Pancasila dan mengancam keutuhan bangsa Indonesia. HTI merupakan perpanjangan Hizbut Tahrir, sebuah partai politik yang lahir di Palestina. Hizbut Tahrir memiliki arti Partai Pembebasan.
Organisasi yang mengusung agar syariat Islam ditegakkan secara khafah itu, dikabarkan sudah memiliki anggota hingga 2 juta orang. HTI masuk ke Indonesia sekitar tahun ’80-an. Ismail menceritakan bagaimana kaderisasi anggota HTI dilakukan.
Ismail mengatak pihaknya menyasar semua kalangan untuk dijadikan ‘aktivis’ HTI, mulai dari akademisi, profesional, birokrat, pengusaha, pelajar hingga mahasiswa. Ada sebuah badan untuk menggalang kader dari masing-masing segmentasi tersebut.
Kelompok mahasiswa sendiri menjadi bidikan utama HTI. Ismail menyebut dalam melakukan pengkaderan kalangan mahasiswa, mereka membentuk sebuah organisasi, Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan.
“Kalau yang disebut dengan berafiliasi ya itu ya seperti Gema Pembebasan, itu memang kita yang membentuk. Gema Pembebasan itu kan gerakan mahasiswa pembebasan,” kata Ismail.
Ismail menyadari lingkungan kampus menjadi ‘pertarungan’ dalam menanamkan ideologi.
 HTI menggelar aksi tolak Perppu Ormas. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Di kampus sendiri lahir organisasi kemahasiswaan ektra kampus yang masih ada hingga sekarang, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) hingga Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Menurut Ismail, wajar lingkungan kampus menjadi medan ‘pertarungan’ ideologi hingga perekrutan kader. Dan HTI, kata dia, memberikan warna tersendiri dalam pergulatan ideologi dan pemikiran di dalam kampus.
“Di situ Hizbut Tahrir memberikan warna dalam pergulatan pemikiran atau pertarungan di antara mahasiswa Islam. Kemudian akhirnya juga memberikan warna di dalam pertarungan pemikiran di kampus secara umum,” tuturnya.
Selain menggunakan Gema Pembebasan sebagai organisasi sayap untuk menjaring kader, para aktivis HTI juga ‘menyusup’ ke lembaga dakwah kampus yang ada di setiap universitas. Namun Ismail tak mau disebut pihaknya menyusup ke lembaga dakwah yang ada di kampus-kampus untuk menjaring kader.
Ismail menuturkan para aktivis HTI yang ada di lingkungan kampus itu bergerak dengan melakukan pembinaan kepada mahasiswa. Pesan yang disampaikan, klaim Ismail, merupakan dakwah yang pada umumnya diberikan dalam sebuah pengajian.
“Ini juga pembinaan yang biasa, yang wajar
gitu. Jadi kalau disebut menyusup itu, itu lah yang kemudian terjadi monsterisasi itu kayak gitu. Istilah menyusup seperti itu. Padahal sebenarnya juga yang diomongin dakwah, sebagaimana yang lain-lain juga berdakwah,” ujarnya.
Konsep Khilafah yang diusung HTI tumbuh subur di perguruan tinggi negeri. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa di perguruan-perguaran tinggi negeri bergabung menjadi aktivis HTI, baik masuk dalam Gema Pembebasan atau ikut di lembaga dakwah.
Sebut saja kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadajaran (Unpad), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Sebelas Maret (UNS) hingga Universitas Indonesia (UI).
Menurut Ismail, lingkungan kampus yang sangat dinamis membuat pengkaderan tak bisa ditargetkan dan dipetakan. Kampus merupakan tempat transit sekelompok masyarakat, yang terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Sehingga, kata dia, bisa saja satu waktu, kampus yang satu kuat sementara yang lainnya lemah dan begitu sebaliknya. “Malah sebenarnya IPB itu ada penurunan. Oleh karena memang kesibukannya yang luar biasa di pendidikan bersamanya itu. Jadi dinamis lah itu,” kata Ismail.
Ismail mengungkapkan tak ada syarat khusus bagi mahasiswa atau masyarakat umum untuk menjadi kader HTI. Menurutnya, baik itu laki-laki atau perempuan yang sudah
baligh bisa menjadi bagian dari HTI.
Dia menuturkan untuk menjadi kader HTI, mereka wajib mengikuti pengajian yang digelar pihaknya. Ada sejumlah kitab yang wajib dibaca oleh mereka saat mengikuti proses untuk menjadi seorang kader.
Selain wajib mengikuti pengajian yang digelar HTI, calon kader ini juga harus betul-betul menegakan syariat atau hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ismail menyebut, ketentuan ini yang biasanya dianggap berat oleh sebagian orang.
“Yang penting dia mengikuti pembinaan
halaqah bersama Hizbut Tahrir untuk memahami
saqafat mutabana yang saya sebutkan itu. Ada
nizam islam, ada
nizam hukum, ada
nizam itisodi, ada
nizam istimai, ada macam-macam,” tuturnya.
Ismail mengungkapkan dalam pengajian yang digelar HTI, turut pula dibahas soal khilafah, yang menjadi konsep bernegara agar bisa direalisasikan di muka bumi.
“Termasuk membahas mengenai khilafah itu apa. Di situ mengkaji mengenai khilafah, lalu khilafah seperti apa. Kira-kira sistem pemerintahan itu kayak apa, nah itu dibahas,” ujar dia.
Sebagai anggota HTI, menurut Ismail, mereka wajib menyebarluaskan pandangan Khilafah ke setiap tempat mereka berada. Baik kepada sesama teman angkatannya, sesama fakultas hingga saat berada dalam lembaga internal kampus.
Lembaga internal kampus ini bisa berupa Badan Eksekutif Mahasiswa, Himpunan jurusan hingga lembaga dakwah kampus.
 Aksi mahasiswa yang menolak Perppu Ormas. (CNNIndonesia/Safir Makki) |
Sistem Pengkaderan KetatPeneliti HTI, Arif Mulizar memberikan gambaran bagaimana HTI masuk ke dalam kampus hingga merekrut mahasiswa menjadi anggotanya. Arif merupakan alumni Unpad dari Fakultas Ilmu Komunikasi.
Dia menghabiskan sisa masa kuliahnya untuk meneliti HTI. Arif menjadikan HTI sebagai subjek dan objek penelitian untuk bahan skripsi dan tesisnya. Dia pun mengaku sempat menjadi simpatisan HTI selama melakukan penelitian untuk dua tugas akhirnya itu.
Arif mengatakan, HTI masuk ke dalam kampus tidak dengan membawa benderanya. Mereka menyelimuti ‘pergerakannya’ dengan masuk ke sejumlah lembaga yang ada di kampus-kampus, termasuk di Unpad sendiri.
Untuk di Unpad sendiri, HTI masuk lewat lembaga dakwah kampus. Organisasi transnasional itu bergerak menjaring mahasiswa, baik itu tingkat jurusan, fakultas serta yang rajin beribadah di masjid.
Dalam proses rekrutmen ini, setiap anggota atau simpatisan HTI akan mendatangi mahasiswa yang dinilai memiliki potensi. Mereka langsung mendekati mahasiswa yang ‘diincar’ satu per satu.
“Kalau di kampus sih, jadi konsep rekruitmennya
gini, HTI itu dia milih orang, dia enggak asal,” katanya.
Arif menuturkan, mahasiswa yang baru dijaring untuk masuk ke HTI tak bisa langsung disebut anggota. Mereka baru disebut sebagai simpatisan selama menjalani proses rekrutmen. Menurutnya, selama menjadi simpatisan mereka harus menamatkan tiga kitab, yakni
Nizamul Islam,
Takattul dan
Mafahim.“Kalau dia sudah tamatkan sampai tiga kitab itu baru dia akan namanya di-
kosam. Kalau di-
kosam dia sudah disumpah,” ujarnya.
Simpatisan HTI dikenal dengan sebutan
darif, sementara untuk anggota disebut
musyrif. Prosesi kosam atau sumpah ini yang harus dilalui
darif untuk menjadi
musyrif.
“Kalau dia disumpah, statusnya berubah, dari darif atau orang yang belajar dia mulai boleh menjadi
musyrif, boleh mengajarkan kitab. Sehingga dia bisa melakukan rekruitmen dan mengajarkan langsung,” tutur Arif.
Meskipun demikian, untuk menjadi seorang simpatisan HTI tidak lah mudah. Ada penilaian yang mesti dilakukan dalam melihat keseriusan si mahasiswa menjadi bagian dari HTI.
“Misalnya kamu bilang, ‘Oh saya mau belajar nih di Hizbut Tahrir’, itu nggak akan semudah itu kamu bisa diterima. Kamu butuh proses sekitar tiga bulan untuk menjadi orang yang laik belajar di Hizbut Tahrir,” jelasnya.
Arif mengaku belum sempat disumpah. Hingga kini statusnya hanya sebatas simpatisan, dan sudah tidak aktif lagi di dalam HTI.
Arif juga ikut terlibat melakukan rekrutmen meski hanya simpatisan. Proses rekrutmen ini juga berlaku di luar kampus, jadi, bukan khusus untuk mahasiswa.
Selama menjadi bagian HTI sebagai simpatisan, Arif menyebut ada sejumlah kegiatan rutin yang dilakukan HTI. Mereka menggelar diskusi setiap seminggu sekali di hari Kamis. Kemudian pada Jumat, mereka menyebarkan selebaran bernama Al-Islam.
Al-Islam merupakan buletin yang diterbitkan rutin oleh HTI pada Salat Jumat. Isi dari buletin tersebut seragam dari Aceh sampai Papua. Namun pasca-dibubarkan pemerintah, Al-Islam berhenti terbit untuk sementara.
Arif menyatakan selain di Unpad, HTI juga sudah masuk ke kampus-kampus yang ada di wilayah Bandung dan sekitarnya, seperti ITB, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Komputer Indonesia (Unikom) hingga Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).