Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Polri Komisaris Besar Awi Setiyono mengatakan, koordinasi antarpengelola grup Saracen dalam menyebarkan konten ujaran kebencian serta bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial, dilakukan melalui dunia maya.
Dia mengatakan, grup Saracen hanya memiliki satu kantor di Pekanbaru, Riau. Kantor yang berada di salah satu rumah toko (ruko) itu hanya digunakan pria bernisial JAS (32) selaku ketua grup Saracen.
"(Koordinasi pengelola) semua melalui internet atau dunia maya," kata Awi di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Kamis (24/8).
Dia menjelaskan, pengelola grup Saracen bekerja dari wilayahnya masing-masing dengan menampung pesanan pembuatan ujaran kebencian di salah satu grup Facebook.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, pengelola grup Saracen akan memviralkan konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA berdasarkan pesanan. Para pelaku, lanjut dia, menawarkan sejumlah paket yang telah ditulis dalam proposal lengkap dengan tarifnya.
Awi mencontohkan, pengelola grup Saracen menawarkan jasa pembuatan situs seharga Rp15 juta, menyebarkan konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA (buzzer) yang menggunakan jasa sekitar 15 orang seharga Rp45 juta.
Kemudian, Ketua grup Saracen yang berinisial JAS juga mematok harga untuk pembuatan konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA yang melibatkan dirinya, senilai Rp10 juta.
"Jika dijumlahkan ada sekitar Rp72 juta. Ini data-data baru yang ditemukan dari yang bersangkutan," tuturnya.
Lebih dari itu, dia menyampaikan, polisi tengah menyelidiki struktur kepengurusan grup 'Saracen'. Menurutnya, penyidik akan memanggil sejumlah nama yang disebut terkait dengan grup penyebar konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA itu.
Dalam cuplikan gambar (screenshot) struktur organisasi yang diterima
CNNIndonesia.com, terdapat 41 nama yang tergabung dalam kepengurusan grup Saracen. Di antaranya adalah pengacara kondang Eggi Sudjana dan purnawirawan TNI Mayor Jenderal Ampi Tanudjiwa yang disebut menjabat sebagai Dewan Penasihat Saracen.
"Ya nama-nama itu yang ada di sana. Kita akan berikan kesempatan untuk klarifikasi," katanya.
Tak hanya itu, polisi juga menemukan indikasi pemalsuan identitas seperti paspor dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pemalsuan ini dilakukan agar pelaku bisa mengembalikan akun-akun yang telah diblokir.
"Mulai dari KTP, paspor patut diduga. Karena itu juga bisa menjadi modus. Memang dia ahli informasi dan teknologi, segala kemungkinan ada," tutur Awi.
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim sebelumnya menangkap tiga orang pengelola grup Saracen yang diduga menyebarkan ujaran kebencian. Ketiganya, berinisial JAS (32), MFT (43), dan SRN (32).
Tiga orang itu ditangkap di tiga lokasi berbeda, yakni Jakarta Utara, Cianjur (Jawa Barat), dan Pekanbaru (Riau) dalam rentang waktu 21 Juli hingga 7 Agustus.
Mereka dijerat dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).