Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul bersemangat meladeni pertanyaan wartawan di Divisi Hubungan Masyarakat (Humas)
Polri, Markas Besar Polri, Rabu (30/8) sore.
Wartawan menghujani Martinus dengan sejumlah pertanyaan mulai dari perkembangan penyidikan kasus dugaan penyebaran konten ujaran kebencian yang dilakukan grup Saracen, hingga penipuan puluhan ribu jemaah haji oleh First Travel.
Satu per satu pertanyaan awak media, dijawab lugas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, situasi berubah ketika Martinus mendengar pertanyaan tentang langkah Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigadir Jenderal Aris Budiman yang memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Panitia Khusus (Pansus) Angket terhadap KPK sehari sebelumnya atau Selasa (29/8) malam.
"Sudah ya, saya ditunggu sama RRI (Radio Republik Indonesia) dan Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika). Kasihan mereka,” kata Martinus.
Berdasarkan klaim Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa, kehadiran Aris dalam rapat itu atas izin Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Namun, Polri enggan mengomentari kehadiran Aris.
"Itu ke KPK dong, kenapa harus ke Polri?" ucap Martinus.
Menurut dia, walau status Aris adalah jenderal polisi bintang satu yang masih aktif, pertanyaan itu tidak tepat bila dilayangkan terhadap Polri.
"Nanti ada jenderal polisi pensiun juga tanya ke polisi," kata Martinus.
Kejanggalan Laporan ArisPolri menunjukkan sikap berbeda ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang laporan dugaan pencemaran nama baik yang dilayangkan Aris terhadap Novel.
Dua hari setelah Aris mengaku telah melaporkan Novel ke Polda Metro Jaya di hadapan Pansus Angket KPK, polisi langsung gerak cepat. Polisi menyatakan telah meningkatkan status laporan itu ke tahap penyidikan.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Adi Deriyan mengaku pihaknya telah meneliti dan meyakini terdapat tindak pidana terkait langkah Novel mengirim surat elektronik (email) berisi protes kepada Aris mengenai pengangkatan penyidik baru KPK.
Polisi mengungkapkan, kalimat yang ditulis Novel terhadap Aris berbunyi, 'Direktur tidak ada integritas, direktur terburuk sepanjang masa.'
"Laporan kami telaah dan teliti, apakah ada pidananya dan kami yakini ada pidananya," kata Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Adi Deryan, Kamis (31/8).
Namun, kejanggalan dalam kasus ini terlihat seiring dengan perjalanan waktu.
Kejanggalan pertama, terkait ketidaksinkronan seputar waktu pembuatan laporan polisi antara pernyataan Aris, penyidik, dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam kasus ini.
Adi menyatakan, pihaknya menerima laporan polisi pada 13 Agustus, sementara Aris mengaku membuat laporan polisi pada 16 Agustus.
Semua pernyataan itu tidak sesuai dengan fakta sebagaimana terutang dalam SPDP terbitan Polda Metro Jaya bernomor B/11995/VIII/2017/Datro yang salinannya diterima
CNNIndonesia.com. Dalam laporan itu tertulis, Aris membuat laporan polisi pada 21 Agustus.
Kejanggalan selanjutnya terlihat antara tanggal Aris membuat laporan polisi dan waktu Polda Metro Jaya menerbitkan Surat Perintah Penyidikan bernomor SP.Sidik/524/VIII/2017/Ditreskrimsus.
Kedua surat yang saling berkaitan itu terbit di tanggal serupa, yakni 21 Agustus.
 Mabes Polri disebut memberikan restu terkait konflik antara Aris Budiman dengan Novel Baswedan. (Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/Monalisa) |
Kejanggalan dalam penanganan laporan Aris pun semakin terlihat dalam langkah Martinus menemui Adi untuk memperbarui informasi penyidikan, Senin (4/9).
Kejadian ini sulit ditemukan, karena pembaruan informasi seputar penyidikan kasus di lingkungan Polda Metro Jaya merupakan wewenang sosok yang menjabat Kepala Bidang Humas, dalam hal ini adalah Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono.
Restu Bawah Tangan PolriPengamat kepolisian Bambang Rukminto berpendapat, langkah Aris hadir dalam rapat Pansus Angket KPK dan melaporkan Novel ke Polda Metro Jaya mendapatkan restu dari institusi Polri.
Menurut dia, restu ini diberikan untuk memuluskan skenario Polri membungkam
Novel Baswedan, melemahkan KPK, dan memuluskan wacana pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi.
Bahkan, lanjut dia, rangkaian skenario telah dimulai dalam penanganan teror penyiraman air keras Novel, kasus yang belum berhasil diungkap oleh penyidik Polda Metro Jaya hingga saat ini.
"Kalau saya lihat itu (restu) di bawah tangan, tidak secara formal, saya yakin upaya itu ada. Tapi, Polri tidak akan mengakui. Ada skenario ke arah sana, melemahkan KPK, membungkam Novel, dan meningkatkan pamor Direktorat Tindak Pidana Korupsi dengan bentuk Densus Antikorupsi," kata peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, Senin (4/9).
Demikian juga, menurut dia, terkait pernyataan Agun yang menyebutkan langkah Aris memenuhi undangan rapat Pansus Angket KPK berdasarkan izin Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Bambang meyakini, Aris tidak mengambil langkah tersebut seorang diri. Ia menilai, salah seorang anggota Polri mengetahui langkah Aris dan memberikan izin secara lisan.
"Di Polri banyak faksi, saya yakin salah satunya pasti tahu. Kalau izin pasti enggak, mereka akan mengelak kalau dikatakan memberikan izin. Saya yakin bukan izin tertulis, mungkin lisan," ujar Bambang.
Namun demikian, Bambang berpendapat, rangkaian skenario ini akan kontraproduktif dan menjadi preseden buruk bagi Polri.
Ia menjelaskan, tingkat kepercayaan publik akan turun akibat dari ketidakprofesionalan yang ditunjukkan Polri ini.
"Hal-hal itu malah kontraproduktif dan akan jadi preseden buruk. Hampir semuanya dilakukan dengan tidak profesional," ujarnya.
Berangkat dari itu, Bambang meminta Presiden Joko Widodo segera turun tangan untuk mencegah terjadinya konflik antara Polri dan KPK lebih jauh. Menurut dia, Jokowi dapat mengambil sikap dengan memanggil Tito dan memberikan teguran.
"Sejak awal sejak kasus air keras Novel, presiden harus turun tangan, kalau tidak ini akan terus berlarut. Upaya pelemahan KPK ini bukan hanya Polri yang melakukan, tapi juga DPR dan mungkin unsur lain yang ingin KPK ini habis. Makanya presiden harus ambil alih," ujarnya.
"Presiden bisa tegur Kapolri agar tidak mengganggu KPK. Tegur Kapolri agar menegur anak buahnya yang sudah ditugaskan ke KPK atau di mana saja agar jangan mengganggu
KPK," katanya menegaskan.