Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memberikan jawaban pemerintah atas uji materi UU Nomor 7 tahun 2017 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (25/9).
Gugatan uji materi diajukan oleh Partai Idaman, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Effendi Ghazali, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Persatuan Indonesia, dan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA).
Salah satu poin yang dipermasalahkan pemohon uji materi tersebut adalah mengenai ambang batas dalam pemilihan presiden 2019, serta perlakuan berbeda terhadap parpol peserta pemilu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 222 UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden. Pasangan capres/cawapres harus memenuhi syarat diusulkan parpol atau gabungan partai yang memperoleh minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu periode sebelumnya.
Di hadapan majelis hakim MK, Tjahjo menjelaskan alasan pemerintah mendukung ambang batas sesuai UU nomor 7 tahun 2017. Kata dia, syarat ambang batas merupakan cerminan dukungan yang kuat dari DPR.
"Hal tersebut merupakan cermin adanya dukungan awal yang kuat dari DPR, di mana DPR adalah simbol keterwakilan rakyat terhadap pasangan capres/cawapres yang diusung," kata Tjahjo.
"Hal ini (ambang batas) juga sudah diwujudkan dalam dua kali pemilihan presiden langsung, dan pilkada 2015 dan 2017 yang terdiri dari 268 daerah dan 101 daerah."
Selain itu, uji materi pun dilayangkan atas pasal Pasal 173 ayat (1), ayat (2) huruf e, dan ayat (3). Pasal 173 yang mengatur pembedaan syarat bagi parpol untuk peserta pemilu legislatif mendatang.
Parpol yang ikut dalam pemilu sebelumnya, 2014, bisa mengikuti pemilu 2019 tanpa verifikasi. Sebaliknya, bagi parpol yang tak berkompetisi dalam pemilu sebelumnya harus diverifikasi terlebih dulu.
Menurut Tjahjo, perlakuan berbeda terhadap parpol peserta pemilu lama bukan merupakan hal yang tidak adil. Tidak diperlukannya verifikasi terhadap parpol yang sudah menjalani proses itu disebut mengefektifkan proses persiapan pemilu.
"Perbedaan tersebut bukan merupakan perlakuan yang tidak adil bagi peserta pemilu, namun lebih kepada efektifitas, efisiensi, dan peningkatan mutu penyelenggaraan pemilu," katanya.
Tjahjo pun meminta majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan kedudukan hukum para penggugat sebelum mengeluarkan putusan lebih lanjut.
Setelah mendengar penjelasan Tjahjo, Ketua MK Arief Hidayat yang memimpin jalannya persidangan berkata bahwa lembaganya menjadikan penyelesaian gugatan terhadap UU Pemilu sebagai prioritas. Posisi itu diambil karena proses pemilu akan mulai berjalan pada Oktober mendatang.
(kid/ugo)