Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Koordinator Bidang Ekonomi Partai Golkar Airlangga Hartarto enggan mengomentari isu dirinya merupakan salah satu sosok yang bakal ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) ketua umum menggantikan Setya Novanto.
"Saya nggak ada komentar, saya mau ada rapat," kata Airlangga usai menghadiri rapat koordinasi teknis (Rakornis) Korbid Kepartaian Golkar di kawasan Slipi, Jakarta, Kamis (28/9).
Menteri Perindustrian itu memang santer disebut bakal menggantikan Setya Novanto. Airlangga sendiri juga pernah bertarung melawan Novanto saat musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) 2016 lalu di Bali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Airlangga tampak hadir dan memukul gong pembukaan Rakornis Korbid Kepartaian yang dibuka Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid dan Ketua Korbid Kepartaian Kahar Muzakir.
Selain itu, sejumlah elite Golkar tampak hadir dalam kegiatan ini di antaranya Ketua Korbid Pemenangan Pemilu Wilayah I Nusron Wahid dan Bendahara Umum Robert Joppy Kardinal.
Hadir pula Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa, anggota pansus Misbakhun, Ketua Forum Silaturahmi DPD I Ridwan Bae hingga para pengurus DPD I tingkat provinsi.
Terkait pemukulan gong, Nurdin membantah itu sebagai simbol atau terkait calon plt ketum Golkar.
"Bukan, itu saya kan mengamalkan salah satu asas-asas Partai Golkar. Itu bagian dari persahabatan, pertemanan. Bukan cuma di sini," kata Nurdin.
Rakornis ini menjadi ajang konsolidasi untuk menghadapi gelaran Pilkada 2018 dan Pileg 2019. Agenda ini berlangsung di tengah rekomendasi permintaan nonaktif Setya Novanto dan penunjukan pelaksana tugas ketua umum.
Menurut Nurdin, Rakornis ini merupakan bagian evaluasi terhadap penurunan elektabilitas Partai Golkar yang sudah masuk tahap mengkhawatirkan.
"Sekarang ini sudah lampu kuning, karena begini waktu pemilu 2014 itu di 2012 survei Partai Golkar berada di kisaran 20, 21, 22 persen
equal-nya itu 14, sekian persen," katanya.
Sedangkan, menurutnya, survei saat ini menunjukan elektabilitas Golkar berada di angka 11 persen dan bahkan ada yang di angka 7 persen.
"Ini berbahaya, bisa tidak lolos di
parliemantary threshold. Itulah kemudian saya menggugah mereka, bahwa mereka harus bangkit," ujarnya.