ICW Beberkan Kejanggalan Putusan Praperadilan Setnov

Bimo Wiwoho & Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Sabtu, 30 Sep 2017 01:54 WIB
Menurut Peneliti Hukum ICW Lalola Easter mengatakan, ada enam kejanggalan yang dilakukan oleh hakim Cepi Iskandar.
ICW membeberkan enam kejanggalan dalam sidang praperadilan perkara Setya Novanto yang dipimpin hakim tunggal Cepi Iskandar. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan putusan praperadilan yang dikeluarkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, dalam perkara Setya Novanto, sarat kejanggalan.

Menurut Peneliti Hukum ICW Lalola Easter mengatakan, ada enam kejanggalan yang dilakukan oleh hakim Cepi selama proses persidangan.

Lalola membeberkan kejanggalan-kejanggalan tersebut. "Pertama, hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Novanto dalam korupsi e-KTP. Kedua, hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK," kata Lalola dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketiga, kata Lalola, hakim menolak eksepsi KPK. Berikutnya, hakim mengabaikan permohonan Intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara. Kelima, hakim bertanya kepada Ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan.

"Terakhir, laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti praperadilan," ujar Lalola.
Lalola mengatakan, kejanggalan-kejanggalan tersebut adalah penanda awal kemungkinan permohonan praperadilan akan dikabulkan oleh Hakim Cepi Iskandar, sebelum akhirnya putusan itu dibacakan di dalam sidang.

"Sesuai perkiraan, praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto dikabulkan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar. Perkiraan ini bukan tanpa dasar," katanya.

Lalola menambahkan, salah satu dalil Hakim Cepi yang paling kontroversial dalam putusan praperadilan ini adalah, bahwa alat bukti untuk tersangka sebelumnya tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lain.

Dengan dalil tersebut, artinya Hakim Cepi mendelegitimasi Putusan Majelis Hakim yang memutus perkara e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, yang notabenenya sudah berkekuatan hukum tetap.

Padahal, menurut Lalola, putusan dikeluarkan berdasarkan minimal dua alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim, dan skema tersebut merupakan hal yang biasa dalam proses beracara di persidangan.

Dikabulkannya permohonan praperadilan Novanto, Lalola berpendapat, juga tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas, termasuk dengan proses yang berjalan pada Pansus Angket KPK di DPR RI.

"Putusan praperadilan ini dikhawatirkan akan menjadi dasar bagi Pansus Angket untuk mengeluarkan rekomendasi yang bukan saja kontra-produktif dengan upaya pemberantasan korupsi, tapi juga melemahkan KPK," kata dia.

Kata dia, terlepas dari legalitas perpanjangan masa kerja Pansus Angket KPK, bukan tidak mungkin rekomendasi yang akan dikeluarkan nanti dilakukan juga berdasarkan hasil putusan praperadilan ini.

ICW, kata Lalola, menilai putusan praperadilan ini tidak dikeluarkan berdasarkan pertimbangan yang tepat dan sarat akan dugaan adanya intervensi pihak lain yang membuat hakim tidak imparsial dan tidak independen dalam memutus.

"Untuk itu, ICW mendesak agar Komisi Yudisial menindaklanjuti laporan-laporan yang sudah masuk terkait dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar dalam proses sidang praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto," kata dia.

Selain itu, ICW juga meminta agar KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru. "Selain itu, manakala Setya sudah kembali ditetapkan sebagai tersangka, KPK harus bergerak lebih cepat dengan melakukan penahanan dan pelimpahan perkara ke persidangan, manakala sudah ada bukti-bukti yang cukup," kata dia.

Mendorong Komisi Yudisial

Ketua Bidang Organisasi dan Jaringan Rumah Gerakan 98, Ardhian Sumadhijo mendorong Komisi Yudisial (KY) untuk menyelidiki objektifitas Hakim Cepi selama memimpin sidang praperadilan Setya Novanto.

"Ini perlu dilihat lembaga pascareformasi seperti KY, apakah ada subjektifitas hakim dalam melihat fakta-fakta hukum," ucap Ardhian usai diskusi bertajuk Menghapus Tren Korupsi Pejabat Negara di Bakoel Coffee Cikini, Jakarta, Jumat (29/9).

Ardhian meyakini, selama ini (KPK) senantiasa menempuh proses yang ketat dalam proses penyelidikan kasus korupsi.

KPK, tutur Ardhian, juga tidak mungkin gegabah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Dia berharap KY mempelajari bagaimana hakim menimbang, mengadili, dan memutuskan selama persidangan praperadilan Novanto.

"Apakah nanti Hakim Cepi Iskandar diberi sanksi oleh KY, kita dorong proses-proses itu," kata Ardhian.

Ardhian menaruh harapan besar kepada KY untuk menelisik objektifitas Hakim Cepi Iskandar. Menurutnya, KY merupakan lembaga pascareformasi yang wajib mengemban amanah reformasi, yakni pemberantasan korupsi.

Ardhian juga mendukung KPK untuk terus melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi meski kalah praperadilan.
(ugo)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER