Jakarta, CNN Indonesia -- Pemohon eksekusi lahan Paseban di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jaka Rumantaka, meminta perlindungan petugas hukum pada eksekusi berikutnya. Ia juga mengatakan negara tidak boleh kalah oleh segelintir orang.
Eksekusi lahan seluas 224 meter persegi itu sendiri pernah gagal dua kali, yaitu pada 2015 dan Agustus 2017 ini.
Jaka mendapatkan perlawanan dari kelompok Sunda Wiwitan yang menganggap area itu sebagai tanah adat. Selain itu, di atas lahan itu juga berdiri Paseban Tri Panca Tunggal yang merupakan pusat kegiatan Sunda Wiwitan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaka mengatakan kepolisian tidak menepati hasil rapat koordinasi pada eksekusi Agustus lalu, yaitu menurunkan 1000 personel. Kenyataan di lapangan, menurut Jaka, hanya ada 200 personel keamanan.
Untuk ke depannya, Jaka tetap akan memohonkan eksekusi lahan dan meminta bantuan hukum.
"Sebelum saya daftar eksekusi, saya akan minta perlindungan hukum dulu, terhadap Bapak Kapolri maupun Bapak Panglima TNI. Dan saya akan datang ke Mabes Polri untuk minta perlindungan hukum," ujar Jaka ketika memberikan hak jawab pada sejumlah media di kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (10/9).
"Karena itu sudah keputusan negara, sudah inkrah. Masa negara dikalahkan oleh segelintir orang."
Pada 2012, Mahkamah Agung memenangkan gugatan Jaka pada objek sengketa berupa sebidang tanah seluas 224 meter persegi atau 16 bata di Blok Mayasih RT 29/10, Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur.
Sebelumnya, Jaka juga menang di Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan Pengadilan Negeri Kuningan.
Keputusan hukum tersebut membuat Jaka mengajukan permohonan eksekusi lahan.
Jaka sendiri merupakan keturunan dari Tedjabuana Alibassa, pewaris tanah Paseban dari Pangeran Madrais. Jaka merupakan anak dari Ratu Siti Djenar Sriningpuri Alibassa, yaitu putri ketiga Tedjabuana.
Proses eksekusi ini menuai pro-kontra dengan salah satunya datang dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Humas PGI Jeirry Sumampow dalam keterangan tertulis pada 24 Agustus silam menyatakan bahwa eksekusi bertentangan dengan prinsip keadilan masyarakat.
"Eksekusi ini mengabaikan nilai bahwa kawasan itu adalah kawasan Cagar Budaya yang mestinya mendapatkan perlindungan hukum," kata Jeirry.
"Begitu juga, akan merusak nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya."
Jaka sendiri menyebut bahwa konflik eksekusi lahan ini hanya persoalan keluarga semata, dan tidak berkaitan dengan Sunda Wiwitan. Ia pun menyebut tanah Paseban bukan tanah adat Sunda Wiwitan dan plang bahwa tanah itu adalah tanah adat baru ada baru-baru ini saja.
"Saya tahunya ada Sunda Wiwitan itu pada 2015. Karena ada akur Sunda Wiwitan menggugat saya," ujarnya.
Pangaping Adat Sunda Wiwitan Okki Satria Djati berpendapat, eksekusi lahan tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum karena lahan merupakan zona cagar budaya nasional yang telah tercatat sejak 1976 di Departemen Kebudayaan dan Pendidikan.
Selain itu, amar putusan pengadilan dinilainya diskriminatif dan cacat hukum karena meminggirkan nilai sejarah dan budaya di dalamnya.
Lebih jauh, kata Okki, dalam objek sengketanya mengabaikan esensi hak hukum masyarakat adat.
(vws)