Kuningan, Jawa Barat, CNN Indonesia -- Malam itu orang-orang berpakaian serba hitam berkerumun di Taman Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (24/8). Perbincangan mereka tampak serius.
Sebagian dari masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur baru bisa meluangkan waktu bercengkerama setelah seharian terjun aksi mengadang proses eksekusi lahan tanah adat.
Paseban Tri Panca Tunggal adalah simbol komunitas adat penganut Sunda Wiwitan di Cigugur. Bangunan itu merupakan cagar budaya nasional yang ditempati oleh Pangeran Jatikusuma, Ketua komunitas adat Sunda Wiwitan di Cigugur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sela keriuhan kecil malam itu, putri dari Pangeran Jatikusuma, Dewi Kanti Setianingsih keluar dari salah satu ruangan Paseban. Dia menyambut
CNNIndonesia.com dengan suara parau. “Maaf, suara saya habis gara-gara aksi tadi siang,” tuturnya.
Malam itu Dewi mengisahkan kembali asal usul tanah keluarga yang kini menjadi sengketa.
Pangeran Madrais, Pencetus Sunda Wiwitan Dewi menceritakan, saat leluhurnya yakni Pangeran Madrais meninggal dunia, tampuk pimpinan komunitas adat Sunda Wiwitan diberikan kepada anaknya yang bernama Pangeran Tedjabuana Alibassa.
Pangeran Tedjabuana memiliki istri bernama Ratu Nyi Mas Arinta yang memberikannya tiga putri. Putri ketiga bernama Ratu Siti Djenar Sriningpuri Alibassa yang nantinya memiliki anak bernama Jaka Rumantaka.
Setelah istrinya meninggal dunia, Pangeran Tedjabuana menikah lagi dengan Ratu Saodah. Dari pernikahannya yang kedua, Pangeran Tedjabuana memiliki tujuh anak, di antaranya empat putra dan tiga putri.
“Anak kedua mereka adalah Pangeran Jatikusuma Alibassa atau ayah saya yang saat ini masih ada,” kata Dewi.
 Aksi warga menadang eksekusi tanah di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, 24 Agustus 2017. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Pada saat menjabat sebagai ketua komunitas Sunda Wiwitan, Pangeran Tedjabuana tidak selalu berada di Cigugur. Dia tidak menempati Paseban Tri Panca Tunggal yang sejak dulu menjadi pusat kegiatan Sunda Wiwitan.
Pangeran Tedjabuana tinggal di Cirebon karena leluhurnya, yakni Pangeran Madrais merupakan keturunan Keraton Gebang Cirebon.
Paseban yang dulunya dijadikan pusat kegiatan Sunda Wiwitan, ditinggali oleh anak dari istri pertamanya, Ratu Siti Djenar. Jaka Rumantaka juga tinggal di Paseban bersama sang ibu dan bapak.
Pemberian Izin Penggunaan TanahPangeran Tedjabuana memerintahkan anak laki-laki dari istri keduanya yang bernama Pangeran Jatikusuma menempati Paseban di Cigugur. Pangeran Jatikusuma diminta memimpin warga Sunda Wiwitan yang berada di Cigugur.
Dengan demikian, ada dua keluarga yang tinggal di Paseban, yakni keluarga Siti Djenar dan keluarga Pangeran Jatikusuma.
Pangeran Jatikusuma ingin dibantu oleh seorang budayawan bernama Engkus Kusnadi (alm) selama menjabat sebagai pimpinan adat di Cigugur.
“Waktu itu, Pangeran Jatikusuma menilai Pak Kusnadi dapat membantunya mengembangkan budaya Sunda Wiwitan,” tutur Dewi.
Pangeran Tedjabuana dan Pangeran Jatikusuma lalu memberikan izin kepada Kusnadi untuk mendirikan rumah di tanah milik Pangeran Tedjabuana. Izin itu diberikan pada tahun 1973. Tak lama, Kusnadi lalu membangun rumah di sana.
[Gambas:Video CNN]Istri mendiang Engkus Kusnadi, Kristina Mimin Saminah mengatakan, meski diberi izin, bukan berarti suaminya diberi hak kepemilikan atas tanah tersebut. Tanah yang ditempatinya tetap milik masyarakat adat atas nama Pangeran Tedjabuana.
Memperkuat kesaksian Dewi, Mimin juga mengatakan bahwa suaminya boleh menempati tanah 224 meter persegi tersebut dengan catatan.
“Suami dan saya disuruh menemani Rama Jati (Pangeran Jatikusuma), dengan syarat harus mengembangkan seni budaya dan kesenian,” tutur Mimin saat diwawancara CNNIndonesia.com di rumah yang berdiri di atas tanah milik Pangeran Tedjabuana, Jumat malam (26/8).
Mimin melanjutkan, saat rumahnya selesai dibangun, keluarga masyarakat adat Sunda Wiwitan mengadakan syukuran. Syukuran tersebut dihadiri oleh hampir semua keluarga adat. Termasuk Pangeran Jatikusuma dan juga Ratu Siti Djenar.
Setelah itu, keluarga Mimin dan Kusnadi menempati rumah tersebut hingga kini.
Pangeran Tedjabuana meninggal dunia pada tahun 1978 karena sakit keras. Tampuk pimpinan adat lalu dipegang oleh Pangeran Jatikusuma.
Kemudian pada tahun 2002, Ratu Siti Djenar meninggal dunia. Sebelum Ratu Siti Djenar meninggal dunia, sempat tersiar kabar bahwa putranya, yaitu Jaka Rumantaka ingin menggugat tanah yang ditempati Mimin.
Hal itu membuat Mimin kaget. Mimin lalu menanyakan informasi tersebut kepada Ratu Siti Djenar. Berdasarkan penuturan Mimin, Ratu Siti Djenar menyanggah kabar tersebut.
“Si Jaka mah tidak tahu apa-apa. Dia kan dari kecil tinggal di Sumedang,” tutur Mimin menirukan Ratu Siti Djenar.
Mimin sejak itu dilanda harap-harap cemas karena dirinya bukan keturunan Pangeran Jatikusuma mau pun Pangeran Tedjabuana selaku pemilik tanah. Kala itu, suaminya, Engkus Kusnadi pun telah meninggal dunia.
Lalu pada tahun 2008, Mimin mendapat surat dari Pengadilan Negeri Kuningan. Dalam surat tersebut, Mimin tercantum sebagai pihak tergugat. Surat tersebut bagai petir di siang bolong bagi Mimin.
Pihak penggugat sendiri, tidak lain dan tidak bukan adalah Jaka Rumantaka, anak dari Ratu Siti Djenar.
Jaka mengklaim tanah yang selama ini ditempati Mimin merupakan milik ibunya, Ratu Siti Djenar yang diberikan oleh Pangeran Tedjabuana.
Mimin mengaku heran dengan tindakan Jaka. Dia kembali menceritakan bahwa saat syukuran pembangunan rumah, Ratu Siti Djenar tidak pernah mengklaim tanah itu miliknya.
“Seharusnya, kalau itu milik Ratu (Siti Djenar) pasti bilang ke saya, jangan dibikin rumah karena itu tanah Ratu,” tutur Mimin.
 Warga saat berdemo menolak eksekusi lahan. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Versi Jaka RumantakaJaka Rumantaka mengatakan bahwa tanah yang digugatnya merupakan tanah yang diwariskan kepada ibunya, Ratu Siti Djenar.
Dia meyakini hal itu karena tanah-tanah di samping lahan yang menjadi objek sengketa, adalah warisan yang diberikan Pangeran Tedjabuana kepada kakak ibunya. Dia adalah Ratu Dewi Kencana Puri Alibassa.
“Tanah-tanah itu diberikan Pangeran Tedjabuana kepada Ratu Dewi. Sekarang sudah dibeli oleh orang lain,” kata Jaka saat diwawancara CNNIndonesia.com, Sabtu (26/8).
Jaka memiliki bukti surat pernyataan yang ditandatangani oleh mantan Sekretaris Desa bernama Murkanda. Dalam surat tersebut, Murkanda menyatakan bahwa dirinya menemui Pangeran Tedjabuana pada tangal 17 Mei 1970 di Cirebon. Kala itu, Murkanda menjabat sebagai Kepala Kampung Wage Desa Cigugur.
Murkanda mengaku mendapat pesan dari Pangeran Tedjabuana. Isi pesan tersebut yaitu bahwa Pangeran Tedjabuana memberikan tanah kepada putri-putri dari istri pertamanya.
Surat tersebut ditandatangani Murkanda dan Lurah Cigugur, Utari pada 20 November 2008.
“Saya punya buktinya. Ini,” ujar Jaka seraya menunjukkan surat yang dimaksud.
Dia mengatakan bahwa di Cigugur tidak ada yang namanya tanah milik adat. Semua tanah milik Pangeran Tedjabuana dan sebagian dari tanah tersebut telah diwariskan kepada anak-anaknya.
Termasuk tanah yang ditempati oleh Mimin Saminah. Dia mengklaim tanah tersebut merupakan tanah milik ibunya, Ratu Siti Djenar. Bukan milik warga adat atau pun Pangeran Jatikusuma.
Berbekal surat tersebut beserta berkas-berkas lainnya, Jaka mengajukan gugatan pada tahun 2009 ke Pengadilan Negeri Kuningan untuk mendapatkan kembali tanah milik ibunya. Pengadilan Negeri Kuningan menyatakan bahwa tanah yang selama ini ditempati keluarga Engkus Kusnadi dan Mimin Saminah bukan tanah adat, melainkan tanah milik Ratu Siti Djenar, atau ibu dari Jaka Rumantaka.
Hal itu tercantum dalam Putusan Pengadilan Negeri Kuningan No 07/Pdt.G/2009/PN.Kng tanggal 18 Januari 2010 jo.
Mimin Saminah beserta warga adat tidak tinggal diam. Mereka lalu mengajukan banding atas putusan PN Kuningan tersebut kepada Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung. Pihak warga adat, Dewi Kanti Setianingsih mengatakan PN Kuningan tidak seharusnya menggunakan frame hukum waris dalam proses peradilan.
“Hakim tidak terlalu memahami sistem nilai adat yang berkembang di masyarakat, sehingga yang digunakan adalah kaca mata hukum waris barat,” tutur Dewi.
Selain itu, tutur Dewi, penuturan para saksi yang dihadirkan pihaknya tidak dijadikan bahan pertimbangan hakim karena tidak disumpah secara agama. Bahkan, kata Dewi, kesaksian ayahnya selaku Ketua Adat Sunda Wiwitan Cigugur, Pangeran Jatikusuma juga tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim.
Padahal, Pangeran Jatikusuma merupakan saksi hidup yang seharusnya dijadikan saksi kunci oleh majelis hakim.
“Cuma karena ayah kami Sunda Wiwitan, tidak dianggap suatu agama, kesaksiannya tidak dijadikan pertimbangan. Aneh,” kata Dewi.
Alasan-alasan itu membuat Dewi dan warga Sunda Wiwitan lainnya berteguh mengajukan banding.
Namun Pengadilan Tinggi Jawa Barat tidak mengabulkan permohonan banding Dewi. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No 82/Pdt/2010/PT.Bdg tanggal 5 Mei 2010 jo, tanah yang menjadi objek sengketa merupakan tanah milik Jaka. Bukan tanah adat.
Dewi belum mau berhenti. Dewi dengan warga Sunda Wiwitan lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan PN Kuningan dan PT Jawa Barat tersebut.
Lagi-lagi, Dewi dan warga Sunda Wiwitan harus gigit jari. Mahkamah Agung memutuskan bahwa tanah yang diklaim sebagai tanah adat oleh Dewi merupakan milik Jaka Rumantaka selaku anak dari pewaris bernama Ratu Siti Djenar. Putusan kasasi itu tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung RI No 2394K/Pdt/2010 tanggal 12 Januari 2012 jo.
Dengan demikian, putusan Pengadilan Negeri Kuningan menjadi inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Dewi dan warga Sunda Wiwitan kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung. Tetapi, Mahkamah Agung tetap menyatakan hal yang sama berdasarkan Putusan PK No 21 PK/Pdt/2014 tanggal 18 Juni 2014.
 Polwan menjadi garda terdepan mengadang perlawanan warga yang menolak eksekusi lahan. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
EksekusiPada 2015, Jaka Rumantaka selaku pemenang perkara sempat mengajukan permohonan eksekusi terhadap lahan yang diklaim miliknya itu.
Akan tetapi, menurut penuturan Dewi Kanti, kala itu Ketua Pengadilan Negeri Kuningan Prayitno Imam Santosa menolak permohonan Jaka. Dewi mengatakan, Prayitno menolak karena luasan tanah berubah-ubah sejak proses hukum berjalan selama ini.
“Pada awal tuntutan 200 meter sekian, lalu 190 meter sekian, berubah-ubah,” tutur Dewi, Kamis malam (24/8).
Oleh karena proses eksekusi tidak diperbolehkan oleh Prayitno selaku Ketua PN Kuningan, perkara tersebut perkara itu pun sempat menggantung.
Memasuki 2017, perkara kepemilikan tanah yang bertempat di Blok Mayasih RT 29/10 Cigugur, Kuningan kembali dikuak. Ketua PN Kuningan yang baru, Elly Istianawati mengabulkan permohonan eksekusi yang dilayangkan Jaka Rumantaka.
Rencana awal, eksekusi akan dilaksanakan pada Juni 2017. Namun batal karena dianggap mengganggu bulan Ramadhan. Kemudian eksekusi direncanakan kembali pada Juli 2017. Rencana tersebut kembali batal karena kepolisian banyak yang mengambil cuti.
Ketua PN Kuningan Elly lantas memilih proses eksekusi dijalankan di bulan selanjutnya.
Memasuki bulan Agustus, Elly menyatakan bahwa proses eksekusi bisa dilaksanakan. Hari yang dipilih yaitu Kamis 24 Agustus 2017.
Pada hari tersebut, pihak PN Kuningan dengan pengawalan sekitar 400 personel polisi mendatangi tanah yang akan dieksekusi. Meski begitu, mereka diadang oleh warga adat Sunda Wiwitan yang tidak kalah banyak jumlahnya.
Aksi dorong terjadi beberapa kali antara polisi dengan warga adat. Upaya warga adat menghalau polisi begitu sengit. Hingga pada akhirnya pihak juru sita PN Kuningan menyatakan bahwa eksekusi gagal dilakukan.
Eksekusi akan berlanjut di lain hari, tanpa ada yang tahu kapan persisnya.