Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengaku kecewa dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tidak satu suara dalam menanggapi pembentukan Densus Tipikor Polri. Menurutnya, pemerintah harus kompak dalam menanggapi suatu isu ataupun kebijakan agar tidak menimbulkan kegaduhan.
"Presiden dan Wapres itu dwitunggal istilahnya. Kalau (suara) di DPR ini belum (tunggal). (Sehingga) beda pendapat. Tapi di eksekutif tidak boleh," ujar Fahri, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (17/10).
Politikus yang pernah dipecat dari seluruh jenjang keanggotaan PKS ini menyarankan, pemerintah seharusnya memperbaiki manajemen kebijakan dan isu. Bentuknya, mengadakan rapat kabinet lebih dahulu untuk mendengarkan paparan dari seluruh institusi terkait pembentukan Densus Tipikor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ajak rapat dulu. Presiden undang Menkopolhukam, Kapolri, dan Jaksa Agung membahas rapat di DPR. Habis itu bikin statement," ujarnya.
Menurut Fahri, perbedaan pendapat antara Jokowi dan JK itu mengesankan Pemerintah tidak memiliki etika. Sebab artinya ada penilaian sepihak tiap pejabat terhadap Densus Tipikor Polri. Sementara, pembentukan Densus itu dibahas secara legal oleh lembaga lain, termasuk DPR.
"(Pemerintah) tidak profesional dan tidak paham bahwa kita mikirnya serius. Saya kira ini tidak punya etika," ujar Fahri.
Bahkan, Anggota DPR dari Daerah Pemilihan NTB ini juga meminta Badan Anggaran DPR untuk tidak mensahkan rancangan APBN tahun 2018. Pemerintah, katanya, terkesan tidak menghormati proses pembahasan pembentukan Densus Tipikor yang saat ini masih berjalan di parlemen.
"Saya mau bicara juga sama Banggar (DPR) ini. Kalau bisa kita tidak usah mengesahkan anggaran pemerintah deh tahun ini. Capek juga pemerintahnya tidak serius," ujar Fahri
Lebih lanjut, Fahri menyebut bahwa Densus Tipikor ini dibentuk untuk mengembalikan peran Polri dalam menangani perkara korupsi sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Densus Tipikor, katanya, seharusnya dapat menggantikan peran KPK dalam hal pemberantasan korupsi.
"KPK itu
trigger (pemicu), bukan yang inti. Jadi kalau Polisi dan Jaksa mengkonsolidasi diri memberantas korupsi, itu yang benar," tandas dia.
Terpisah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyebut bahwa Pemerintah belum membahas pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) dalam rapat kabinet terbatas.
"Kalau (dibicarakan) dengan Presiden saya tidak tahu, tetapi seingat saya memang belum ada ratas (rapat terbatas)," kata Yasonna, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/10).
Yasonna juga mengaku tidak mengetahui soal kemungkinan Jokowi dan JK pernah membahasnya berdua.
Meski demikian, dia mengatakan yang lebih penting adalah koordinasi antara aparat penegak hukum dan kementerian terkait. Sebab, pembentukan Densus Tipikor sebagai lembaga baru harus dibicarakan terlebih dulu, salah satunya, dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Terlepas dari itu, Yasonna meminta agar Kepolisian, Kejaksaan Agung dan KPK duduk bersama lebih dahulu untuk melihat peta jalan (road map) pemberantasan korupsi. Selain itu, semua aparat penegak hukum harus menghilangkan ego sektoral.
"Nanti road mapnya masih perlu lembaga baru atau apakah cukup yang ada sekarang kita berdayakan," ucapnya.
Sebelumnya, JK percaya tindak pidana korupsi dapat ditangani dengan baik oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan, tanpa harus membentuk satuan baru.
"Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu, tim yang ada sekarang juga bisa," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (17/10).
Sikap JK ini sedikit bertolak belakang dengan Presiden Joko Widodo. Lewat juru bicara Johan Budi, Jokowi tak mempersoalkan rencana Polri membentuk Densus Tipikor selama bermanfaat dalam memperkuat pemberantasan korupsi.
"Kewenangan ada di Polri (untuk) membentuk detasemen itu. Dan inikan bukan hanya Polri. Tadi saya sebutkan Kejaksaan juga punya sebenarnya tim itu," kata Johan Budi, di Kantor Staf Kepresidenan, di Bina Graha, Jakarta, Selasa (17/10).