Jakarta, CNN Indonesia -- Melewati periode tiga tahun pemerintahannya, pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menghadapi kiritkan soal keseriusan terhadap pemberantasan korupsi di dalam Pemerintahannya.
Lembaga penegak hukum di bawah koordinasi Jokowi-JK, seperti Polri dan Kejaksaan Agung, dinilai belum optimal menangani kasus-kasus rasuah karena banyaknya kasus mangkrak. Perbaikan internal kedua lembaga, baik dalam budaya maupun koordinasi, mendesak untuk dilakukan.
Selain itu, mental pejabat negara turut menjadi sorotan. Buktinya, masih banyak penyelenggara negara yang terjerat kasus korupsi. Kasus-kasus sebelumnya tak dijadikan pelajaran para abdi negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data KPK menyebut, kasus yang ditanganinya pada tahun ini hingga September 2017 sudah menyeret 36 penyelenggara negara. Mereka terdiri dari Gubernur, Bupati/Walikota, Anggota DPR/DPRD, Hakim, dan pejabat Eselon I/II/III. Jumlah tersebut hampir mendekati capaian tahun 2016, yakni 46 pejabat negara.
Mantan pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menyarankan Jokowi fokus untuk membangun integritas dan moralitas para penyelenggara negara.
"Sebaiknya terfokus masalah membangun integritas dan moralitas para penyelenggara negara dalam rangka meminimalisasi perbuatan korupsi," kata Indriyanto kepada
CNNIndonesia.com, Sabtu (21/10).
Indriyanto mengatakan, program pemberantasan korupsi selalu menjadi barometer keberhasilan mengelola pemerintahan. Jokowi, kata dia, pada prinsipnya sudah melakukan itu dengan baik.
Namun, Presiden harus lebih memperhatikan pengawasan terhadap pengelolaan dan penggunaan keuangan negara, mengingat besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus meningkat tiap tahunnya.
"Sektor pengawasan terhadap pengelolaan dan penggunaan keuangan negara harus menjadi atensi," tutur Indriyanto.
Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebut bahwa kepemimpinan nasional menjadi faktor penting dalam kerja pemberantasan korupsi di suatu negara. Karena itulah penilaian Indeks Persepsi Korupsi yang dilakukan Transparency International juga memasukkan kategori kemampuan, dan strategi dari kepemimpinan nasional dan lokal dalam mengelola wilayahnya.
Dalam tiga tahun jalannya pemerintahan, lanjut Saut, Jokowi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam pemberantasan korupsi dibanding pemimpin pada periode sebelumnya.
"Kalau ini sustain(able), maka akan ada perubahan signifikan," aku Saut.
 Rita Widyasari merupakan salah satu kepala daerah yang terjerat kasus dugaan suap terkait pemberian izin lokasi untuk keperluan inti dan plasma perkebunan kelapa sawit di Kutai Kartanegara. ( ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Densus TipikorDi tengah perang terhadap korupsi, pemerintahan Jokowi-JK juga dihadapkan pada dinamika terkait wacana Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi Polri. Wacana ini sebenarnya muncul di era Kapolri Jenderal Sutarman, pada 2013. Namun, rencana tersebut dibatalkan lantaran dianggap tak relevan.
Wacana ini muncul kembali di era Kapolri Tito dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR, pada 23 Mei 2017. Tito pun sudah membuat kajian. Anggaran untuk pembentukan Densus Tipikor mencapai Rp2,6 triliun. Rinciannya, belanja pegawai sebesar Rp786 miliar, belanja operasional sebesar Rp359 miliar, dan belanja modal sebesar Rp1,55 triliun.
Selain soal anggaran, Tito juga sudah menyiapkan struktur organisasi Densus Tipikor tersebut. Densus Tipikor akan dipimpin perwira Polisi bintang dua atau Inspektur Jendral. Personel yang disiapkan mengisi unit khusus ini mencapai 3.560 orang, yang akan akan ditempatkan di 33 satuan tugas di seluruh wilayah Indonesia.
Rencana pembentukan Densus Tipikor itu sudah sampai ke tangan Jokowi. Rencana tersebut akan dibawa ke rapat terbatas pekan depan. Namun, suara di Pemerintah sejauh ini belum bulat untuk mendukungnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, Densus Tipikor tidak perlu dibentuk. Menurutnya, pemberantasan korupsi masih dapat ditangani baik oleh KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan tanpa perlu membentuk sebuah satuan baru.
Ketimbang membentuk satuan baru, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, Polri lebih baik melakukan pembenahan internal terlebih dahulu.
Dia mengatakan, Tito harus bisa membersihkan Polri dari oknum-okum yang kerap menerima suap atau melakukan pemerasan dalam penanganan sebuah kasus korupsi.
"Yang penting bagi kepolisian adalah membersihkan dirinya dari oknum-oknum yang melakukan korupsi, berupa suap dan pemerasan yang kadang-kadang populer dengan istilah 86," kata Boyamin kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Boyamin, sampai saat ini Korps Bhayangkara belum bisa membersihkan diri dari oknum yang melakukan pungutan liar di sejumlah bidang. Maka tak heran ada budaya "damai" alias "86" dalam penanganan sebuah kasus. Meskipun, kata dia, Tito sudah berusaha membersihkan lembaganya, namun kepercayaan masyarakat masih rendah.
Berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dipublikasikan Transparency International Indonesia (TII), Polri masuk lima besar lembaga terkorup tahun 2016. Posisi ini lebih baik, karena pada 2013, Polri menjadi lembaga terkorup di Indonesia.
Karena itu, kata Boyamin, Densus Tipikor pada prinsipnya tak benar-benar dibutuhkan. Sebab, sudah ada KPK yang jelas kedudukannya dan sudah bekerja dengan hasil yang cukup maksimal menjerat para koruptor.
"Jadi kebutuhan mendesak sekarang adalah polisi membersihkan dirinya," tutur Boyamin.
Di sisi lain, Indriyanto mendukung langkah pembentukan Densus Tipikor oleh Polri dengan syarat adanya kerja bareng lembaga penegak hukum di bawah Presiden. Bentuknya, koordinasi satu atap yang baik antara Penyidik di Densus Tipikor dengan penuntut umum di Kejaksaan Agung.
"Dalam kajian akademik dan hukum, pola ini perlu mendapat dukungan. Dan dalam sistem
civil law, seperti Prancis, pola
one roof system dengan model quasi berjalan sangat efektif dan efisien antara penyidik dengan penuntut," tuturnya.
Guru besar Universitas Krisnadwipayana itu menambahkan, keberadaan Densus Tipikor jangan dipandang sebagai langkah untuk mengeliminir kerja KPK, yang memang khusus menangani kasus korupsi sejak berdiri pada 2004 silam.
"Ini bukan permasalah untuk mengelaminasi KPK ataupun mutasi wewenang penuntutan, tapi ini mengedepankan
integrated combat corruption bagi kepentingan negara, bukan kepentingan ego sektoral wewenang," tuturnya.
Ia juga menyadari pandangan negatif masyarakat tentang Densus Tipikor ini adalah soal penanganan kasus yang rawan jadi 'permainan' dan adanya intervensi saat proses penyidikan berjalan.
Namun, menurutnya, struktur organisasi Densus Tipikor yang langsung bertanggung jawab kepada Kapolri, bisa menepis kekhawatiran adanya intervensi, baik dari luar atau dari dalam, terhadap penanganan kasus oleh lembaga itu.
"Filosofi yuridisnya adalah Densus Tipikor haruslah
a free,
impartial and independence. Sehingga dapat terhindar dari usaha internal maupun eksternal (dalam melakukan) intervensi," tutup Indriyanto.