Perbandingan Jumlah Eksekusi Mati di 3 Tahun Jokowi dan SBY

CNN Indonesia
Sabtu, 21 Okt 2017 12:31 WIB
Sebanyak 18 orang terpidana mati dieksekusi di era Jokowi. Jumlah itu hampir sama dengan jumlah eksekusi mati selama 10 tahun era SBY.
Direktur Amnesty International Usman Hamid menilai penuntasan kasus pelanggaran HAM di era presiden Joko Widodo hanyalah sebatas janji. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jumlah eksekusi mati selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo hampir menyamai jumlah eksekusi selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, ada 18 orang terpidana mati yang telah dieksekusi di era Jokowi.

"Jumlah ini mendekati total 21 eksekusi mati yang dilakukan selama sepuluh tahun Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden," kata Usman Usman saat konferensi pers mengenai evaluasi kinerja pemerintahan Jokowi di aspek hak asasi manusia di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta, Kamis (19/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usman mengatakan, banyak pihak yang terkejut ketika Jokowi langsung melakukan eksekusi mati di periode awal pemerintahan.

"Sambil dengan tegas menyatakan akan mengeksekusi semua terpidana mati narkotika dengan menolak segala permohonan grasi kepadanya," kata Usman.
Jumlah orang yang akan dieksekusi mati, menurut Usman diprediksi bakal bertambah. Merujuk dari catatan Amnesty International Indonesia, Usman mengatakan ada 10 orang terpidana mati yang telah masuk daftar eksekusi.

Kesepuluh terpidana tersebut, kata Usman, belum dieksekusi karena Kejaksaan Agung ingin memastikan tidak adanya kesalahan yuridis maupun nonyuridis.
Usman mengapresiasi sikap Kejaksaan Agung tersebut. Namun, bukan berarti Usman sepenuhnya yakin bahwa proses peradilan yang memvonis hukuman mati di kemudian hari akan terus berjalan secara adil.

Usman menjelaskan, pada 29 Juli lalu, Ombudsman menyimpulkan bahwa terjadi maladministrasi dalam proses eksekusi mati terhadap Humphrey Jefferson Ejike.

Warga negara Nigeria itu seharusnya tidak boleh dihukum mati karena proses pengajuan grasi belum diputus.

Usman juga mencontohkan kasus lainnya. Januari 2017 silam, Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Sumatera Utara membatalkan vonis hukuman mati terhadap Yusman Telaumbanua terkait kasus pembunuhan berencana. Pengadilan mengubah vonis menjadi lima tahun penjara.

"Kegagalan aparat penegak hukum dalam menentukan usia Yusman saat kejadian, digunakannya pengakuan lewat paksaan sebagai barang bukti, ketiadaan penerjemah bahasa lokal, dan tidak kompetennya pengacara menjadi elemen unfair trial pada kasus ini," ucap Usman.

Berangkat dari dua kejanggalan kasus tersebut, Usman khawatir proses peradilan yang tidak adil dapat kembali terjadi di kemudian hari.

Sebatas Janji

Usman berpendapat, pengungkapan kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu masih sebatas janji.

Jokowi, kata Usman, belum melakukan upaya konkret untuk menyelidiki dan menyelesaikan secara tuntas sejumlah kasus pelanggaran HAM selama tiga tahun menjabat sebagai presiden.

Mengenai pelanggaran HAM 1965-1966 silam, misalnya. Usman cemas dengan sikap pemerintah yang tidak melanjutkan pengusutan lebih mendalam.

Padahal, sebelumnya Jokowi telah menunjukkan itikad baik untuk mengungkap pelanggaran HAM itu dengan menghelat simposium pada 2016.

Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 pada 18-19 April 2016 dilakukan untuk memberikan ruang bagi berbagai kelompok, seperti TNI, Polri, organisasi nonpemerintah, akademisi, hingga korban atau keluarganya korban. Mereka semua diberi kesempatan menyampaikan pendapat terkait pemberangusan eks anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia sepanjang 1965-1966.

"Sayangnya Pemerintahan Jokowi tidak juga melanjutkan inisiatif ini setelah menghadapi serangkaian tekanan baik dari pihak berwenang di pemerintahannya mau pun tekanan kelompok yang mengklaim sebagai antikomunis," kata Usman.
Usman juga mengkritisi Jokowi mengenai pengungkapan kasus kematian aktivis HAM, Munir Said Thalib.
Jokowi, tutur Usman, berulang kali menyatakan bakal mengungkap kasus kematian suami dari Suciwati Munir tersebut. Namun, kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan yang diucapkan sang presiden.

Pemerintahan Jokowi menolak membeberkan Laporan Tim Pencari Fakta kasus Munir yang diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2015.
Padahal, Komisi Informasi Publik (KIP) menyatakan bahwa dokumen tersebut merupakan dokumen publik. Walhasil, kematian Munir masih menjadi misteri hingga saat ini.

"Pemerintahan Jokowi tetap menolak membukanya," kata Usman.

Usman mengatakan Jokowi juga terkesan tidak peduli dengan upaya masyarakat Aceh untuk mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi saat Aceh ditetapkan sebagai Wilayah Darurat Militer.

Pihak berwenang di Aceh, lanjut Usman, telah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Komisioner pun telah dipilih berdasarkan latar belakang yang sesuai. Namun, Jokowi bergeming.

"Pemerintahan Jokowi belum terlihat memberikan dukungan terhadap inisiatif lokal yang positif ini," kata Usman.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER