Jakarta, CNN Indonesia -- Meskipun menyebut KPK merupakan objek pengawasan DPR, mantan Hakim Konstitusi MK Maruarar Siahaan menilai bahwa pembentukan Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap KPK (Pansus Angket KPK) menyalahi tata tertib dewan.
Hal itu disampaikan Maruarar sebagai ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (25/10).
"Lebih pada masalah keabsahan pengambilan keputusan dan keabsahan pembentukan Pansus Hak Angket KPK yang tidak merujuk pada syarat-syarat tentang kuorum. Menurut saya, ini lebih kepada masalah etik berbangsa dan bernegara," kata Maruarar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maruarar pun mengibaratkan Pansus Angket KPK tersebut sebagai "buah dari pohon yang beracun atau
fruit of the poisonous tree" karena pembentukannya tidak sejalan dengan Tata Tertib DPR.
"(Pansus Hak Angket) Ini menjadi buah dari pohon yang beracun," ujarnya.
Masalah dalam keberadan Pansus lainnya, lanjut dia, adalah adanya konflik kepentingan. Sebab, pembentukannya dilakukan saat adanya proses Penyelidikan KPK yang menyangkut sejumlah Anggota DPR. Termasuk, Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa.
"Dalam etika berbangsa merupakan suatu konflik kepentingan yang harus menjadi perhatian," ujar Maruarar.
Namun demikian, Maruarar tak sepakat jika alasan independensi KPK membuatnya tidak menjadi objek pengawasan DPR. Baginya, lembatga antirasuah harus tetap tunduk pada pengawasan.
Ia menganalogikannya dengan Polri dan Kejaksaan Agung yang masuk dalam objek pengawasan DPR melalui Hak Angket.
Alasannya, sisi akuntabilitas lembaga independen pun tetap harus diperhatikan. Alhasil, Hak Angket DPR dapat dilakukan pada semua lembaga yang melaksanakan UU, termasuk KPK.
"Dan di dalam UU MD3, Polri, Kejagung, adalah bagian dari (objek pengawasan) hak angket itu. Maka, bagaimana bisa KPK tidak tunduk daripada pengawasan?" cetus Maruarar.
Sebelumnya, sejumlah pegawai KPK melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017).
Permohonan serupa diajukan Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK selaku Pemohon Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017.
Beberapa Pemohon perseorangan juga mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 37/PUU-XV/2017.
Pokok gugatannya adalah ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Pasal ini dinilai oleh para Pemohon mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hal tersebut menimbulkan beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan Hak Angket terhadap KPK.
Pembentukan Pansus Hak Angket KPK ini sejak awal sudah bermasalah. Rapat Paripurna DPR yang memutuskan pembentukan Pansus, pada April, diwarnai walk out Fraksi Partai Gerindra. Sebabnya, pimpinan rapat ketika itu, Fahri Hamzah, tidak menanggapi protes sejumah fraksi yang menentang wacana Pansus itu.
Dalam prosesnya, keanggotaan Pansus Hak Angket KPK juga diwarnai keluar masuknya sejumlah Fraksi.