Jakarta, CNN Indonesia -- Silang pendapat mengenai pemanfaatan anggaran proyek penataan kawasan parleman sebesar Rp601 miliar terjadi di tingkat pimpinan DPR. Dua pimpinan DPR, yakni Fahri Hamzah dan Agus Hermanto memiliki pendapat masing-masing.
Agus menilai, anggaran Rp601 miliar hanya untuk konsultasi dengan konsultan proyek. Sementara Fahri, menilai anggaran sebesar itu akan mencakup konsultasi hingga kontruksi bangunan.
Akan tetapi, Fahri menyebut, proyek itu akan menggunakan sistem kontrak tahun jamak atau
multi years. Sistem itu tidak menutup kemungkinan anggaran proyek semakin membengkak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proyek penataan kawasan parlemen berupa pembangunan gedung baru dan alun-alun demokrasi senilai Rp601 miliar masuk dalam APBN 2018 dan telah disahkan dalam rapat paripurna DPR, Rabu (25/10).
Seluruh anggaran itu dibagi untuk pembangunan gedung baru DPR sebesar Rp320,44 miliar dan alun-alun demokrasi Rp280 miliar.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, silang pendapat itu semakin mempertunjukkan kinerja DPR yang memprihatinkan.
Selain memperparah citra DPR, mereka dianggap tidak mempu menjadi corong mewakili DPR dalam menyampaikan kebijakan atau keputusan kepada publik dengan benar.
“Perbedaan informasi dari kedua pimpinan tersebut jelas menyingkap apa yang juga selama ini kerap terjadi di mana pimpinan gagal menjadi speaker yang menjadi penyambung lidah parlemen kepada publik,” ujar Lucius kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (3/11).
Lucius menuturkan, silang pendapat antar pimpinan kemungkinan besar juga terjadi karena perencanaan anggaran penataan kawasan parleman sebesar Rp601 miliar disusun secara asal.
DPR, kata dia, seolah hanya membuat rancangan anggaran secara umum untuk mengakomodir kepentingannya agar bisa diterima oleh pemerintah.
 Proyek penataan kawasan parlemen berupa pembangunan gedung baru dan alun-alun demokrasi senilai Rp601 miliar. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa) |
Padahal, menurutnya, perspektif DPR yang buruk dalam membuat rancangan anggaran akan berdampak pada kualitas akhir bangunan.
“Bagi DPR yang paling penting tentu saja adalah adanya persetujuan dari pemerintah agar anggarannya diakomodasi dalam APBN. Sekian lama DPR mengupayakan hal tersebut tetapi selalu gagal berhadapan dengan protes publik yang masif,” ujarnya.
Selain kualitas, Lucius khawatir rancangan anggaran yang tidak dibahas dengan seksama itu menjadi bancakan bagi “mafia proyek”. Pasalnya, ia melihat, mafia proyek kerap memanfaatkan buruknya pengawasan anggaran di DPR.
“Tentu saja kekacauan perencanaan itu melihat apa yang sudah pernah terjadi selama ini, menjadi peluang bagi orang-orang tertentu untuk bermain dengan anggaran,” ujar Lucius.
Lebih dari itu, Lucius menegaskan, pemerintah dan DPR telah melakukan pemborosan yang luar biasa jika anggaran Rp601 miliar hanya diperuntukkan untuk perencanaan dan konsultasi semata.
“Ataukah ada kesengajaan tertentu yang dimaksudkan memang untuk digunakan untuk kepentingan lain sehingga untuk konsultasi saja anggaran bisa sebesar itu?” ujarnya.
(pmg)