Jakarta, CNN Indonesia -- KPK heran dengan alasan Ketua DPR Setya Novanto alias Setnov yang tak memenuhi panggilan Penyidik lantaran belum adanya izin pemeriksan dari Presiden Joko Widodo.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, selama ini Penyidik lembaga antirasuah sudah memanggil Setnov sebanyak sembilan kali, dan selama itu pula tak ada permasalahan soal izin Presiden.
"Sebelumnya tidak pernah ada penjelasan atau alasan terkait penggunaan klausul izin ke presiden," ungkap dia, di gedung KPK, Jakarta, Senin (6/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Febri merinci, sebanyak sembilan pemanggilan terhadap Setnov itu dilakukan saat menjadi saksi dalam penyidikan terhadap dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto, saksi untuk penyidikan terhadap pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan saat Setnov menjadi tersangka proyek e-KTP.
Pemanggilan itu dilakukan pada Desember 2016, Januari 2017, Juli 2017, dan September 2017.
"Totalnya sampai saat ini ada sembilan kali. Termasuk pernah dipanggil sebagai tersangka dua kali, namun tidak hadir," lanjut Febri.
Menurutnya, warga negara yang dipanggil sebagai saksi memiliki kewajiban hukum untuk memenuhi panggilan tersebut. Dia pun meminta, para saksi, terutama penyelenggara negara memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.
"Pertama yang penting adalah warga negara yang dipanggil sebagai saksi itu kewajiban hukum. Jadi kita berharap para penyelenggara negar beri contoh kepatuhan hukum tersebut," tuturnya.
Febri menambahkan, pihaknya masih mempelajari surat pemberitahuan yang dikirimkan Plt Sekretariat Jenderal DPR Damayanti pada panggilan hari ini, serta surat ketidakhadiran Setnov sebelumnya, pada pemeriksaan Senin (30/10).
"Apakah itu termasuk alasan yang sah, alasan yang patut, atau tidak," kata Febri.
Sebelumnya, Setya Novanto alias Setnov tidka hadir dalam panggilan pemeriksaan KPK pada Senin (6/11). Alasannya, perlu ada izin Presiden sebelum memanggil Novanto sebagai Anggota DPR. Hal itu tertuang dalam surat yang ditandatangani Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR Damayanti, tanggal 6 November.
Surat itu merujuk Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17/2014 MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden."
(arh/arh)