Jakarta, CNN Indonesia -- Polri tak ingin pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menjadi kebiasaan dalam penanganan kasus-kasus pidana. Penanganan kasus teror penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan pun dianggap masih mampu dilakukan kepolisian.
"TGPF ini jangan dibiasakan. Nanti siapapun yang merasa agak lama penanganan kasusnya menuntut TGPF," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Rikwanto, di Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (6/11).
Menurut Rikwanto, penanganan sebuah kasus yang memakan waktu di kepolisian merupakan hal yang wajar. Penyidik pun, lanjut dia, tidak memiliki niat untuk memperlambat proses penyidikan kasus yang terjadi pada 11 April 2017 itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rikwanto meminta pihak yang memiliki informasi seputar kasus Novel segera memberikan informasi kepada kepolisian, tanpa perlu menunggu pembentukan TGPF. Penundaan pemberian info itu sama saja dengan memperlambat penyidikan kasus itu.
"Jangan (ketika) punya bukti, informasi, atau bahan bagus untuk mengungkap, lalu dipegang saja dengan alasan nanti TGPF saya buka. Itu namanya menghambat, memperlama," ujar dia.
Masyarakat, kata Rikwanto, harus ambil bagian dalam membantu pihak kepolisian dengan memberikan informasi. Selain itu, masyarakat juga bisa memberi informasi seputar kasus Novel kepada KPK bila tidak berkenan menyampaikannya ke Polri.
"Kalau memang ke penyidik kurang pas atau berkenan, ke KPK sendiri atau ke siapa yang dianggap cukup punya kompetensi dipercaya untuk itu. Nanti baru dikondisikan ke Polri. Kami terbuka," ucapnya.
Usulan pembentukan TGPF kasus Novel disuarakan oleh sejumlah mantan pemimpin KPK dan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi pada Selasa pekan lalu. Usulan itu dikemukakan karena pelaku penyerangan terhadap Novel belum terungkap setelah 200 hari penyelidikan berlalu.
"Setelah berlarut-larutnya waktu yang memakan waktu begitu lama, kasus Novel tidak ada penuntasan, dengan kata lain terkatung-terkatung," kata Mantan Ketua KPK Abraham Samad, di gedung KPK, Jakarta, Selasa (31/10).
Jika kasus Novel tak bisa dituntaskan, kata Samad, gangguan terhadap keberadaan dan tugas KPK akan semakin banyak. Terlebih, serangan yang mengarah ke KPK makin bertubi-tubi.
"Jadi ibaratnya kalau KPK lagi mengalami kesakitan, maka seluruh mantan pimpinan (KPK) harus merasakan itu dan harus punya sensitivitas untuk tetap mendukung secara penuh KPK," tuturnya.
(arh/gil)