KPK Minta Setya Novanto Tak Seret Presiden di Kasus e-KTP

Feri Agus & Joko Panji Sasongko | CNN Indonesia
Senin, 06 Nov 2017 18:12 WIB
Dalih izin Presiden yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto agar mangkir dari pemeriksaan KPK dinilai lemah. KPK memiliki UU dengan kewenangan khusus.
Ketua DPR Setya Novanto dan Presiden Jokowi. Novanto memakai dalih izin Presiden untuk memeriksa dirinya sebagai anggota DPR sebagai alasan mangkir dari panggilan KPK. (Foto: CNN Indonesia/Abi Sarwanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- KPK meminta Ketua DPR Setya Novanto tak berlindung di balik izin Presiden Joko Widodo agar tidak diperiksa dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Aturan izin Presiden untuk pemeriksaan terhadap anggota DPR sendiri tak berlaku bagi KPK yang memiliki perundangan khusus.

"Presiden punya tugas jauh lebih besar. Jangan sampai ketika (izin Presiden) itu tidak diatur, Presiden juga ditarik-tarik (ke) persoalan ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jakarta, Senin (6/11).


Hal ini dikatakan terkait alasan ketidakhadiran Novanto dalam panggilan pemeriksaan pada Senin (6/11). Sebagaimana tertulis dalam surat yang ditandatangani Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR Damayanti, tanggal 6 November, DPR meminta KPK mengantongi izin dari Presiden sebelum memanggil Novanto.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Surat itu merujuk Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden."

Pasal ini sendiri pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi saat masih mensyaratkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, pada 2015.

"Jadi ini alasan baru (dari pihak Novanto). Tentu kita perlu baca aturan di UU MD3 dan (putusan) MK tersebut," lanjut Febri.

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Febri Diansyah.Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Febri Diansyah. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)

Ia menyatakan, KPK meminta semua pihak, termasuk Novanto, untuk tidak mempersulit penanganan kasus korupsi e-KTP yang tengah diusut sejak 2014 lalu. Sebab, ada konsekuensi hukumnya.

"Sejauh ini kami harap semua pihak tidak mempersulit penanganan perkara yang dilakukan KPK," ucap dia.

Namun demikian, Febri mengaku bahwa pihaknya masih akan memastikan soal keterlibatan Novanto dalam pembuatan surat yang ditandatangani Plt Sekjen DPR itu. Pada panggilan pemeriksaan sebelumnya, Novanto mangkir dengan surat yang dibuat pihak keluarga serta kuasa hukum.

"Itu menjadi salah satu hal penting dicermati, apakah surat yang dibuat sekjen tersebut diketahui sama saksi SN (Setya Novanto) atau tidak," katanya.


Febri juga belum bisa bicara lebih jauh soal surat panggilan ketiga yang disertai dengan penjemputan paksa. Saat ini, KPK masih mempelajari surat-surat ketidakhadiran Novanto pada dua panggilan sebelumnya.

"Apakah ada panggilan ketiga atau panggilan paksa, kami belum putuskan. Kita pelajari dua surat dan respons sejauh ini," ujar bekas pegiat Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.

Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyatakan, Pasal 245 UU MD3 tidak bisa dipakai sebagai alasan mangkirnya Novanto dari pemeriksaan KPK.
Sebabnya, KPK memiliki UU khusus yang memberinya kewenangan untuk memeriksa penyelenggaran negara.

"Tidak ada alasan Ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK. Apalagi KPK dalam jalankan tugasnya berbekal UU Khusus yang selama ini dipakai," ujarnya.

Sekadar informasi, ada azas hukum lex spesialis derogat legi generali. Bahwa, aturan yang bersifat khusus mengecualikan yang bersifat umum. Dalam hal ini, UU KPK bersifat lebih khusus dalam mengatur kewenangan KPK ketimbang UU MD3.


Menurut Refly, mangkirnya Novanto ini merupakan bentuk ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum. Hal itupun menjadi contoh buruk pejabat publik bagi masyarakat. Padahal, Novanto tak perlu takut jika memang yakin tidak terlibat dalam kasus korupsi e-KTP.

"Publik diberikan tontonan yang buat kita tertawa. Kejadian sakit dan rangkaian lain yang buat publik bertanya dan tertawa. Saya sebagai akademisi tidak bisa menuduh, tapi rangkaian peristiwa itu buat publik bertanya dan tertawa," jelasnya. (arh/osc)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER